Saturday, May 7, 2016

Kenapa Miras Selalu Salah?

Seminggu belakangan ini ramai dengan berita meninggalnya Yuyun, seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang diperkosa dan kemudian dibuang ke jurang oleh 14 orang laki-laki. Kemudian beberapa hari yang lalu di media sosial tersebar #NyalaUntukYuyun, sebuah dukungan untuk mengusut tuntas dan menghukum para pelaku pemerkosa.

Sama seperti banyaknya kejadian menggemparkan yang terjadi di Indonesia atau bahkan di luar negeri. Saya selalu mengamati pergerakan di media sosial yang mana akan muncul para 'pakar' dadakan. 

Mereka yang mendadak menjadi ahli dan bisa menjelaskan ini itu padahal cuma berbekal hasil googling biar dipandang pintar. Tak hanya kemunculan para pakar dadakan saja, banyak yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan. 

Niatnya seperti ingin mendukung tapi ternyata menggunakan kesempatan seperti kasus Yuyun ini sebagai kampanye terselubung. Salah satu kampanye terselubung yang saya amati di media sosial dengan mendompleng kasus Yuyun ini adalah kampanye miras. 

Menurut ybs, apa yang menimpa Yuyun penyebabnya adalah miras yang diminum para pelaku. Logikanya, karena minum minuman keraslah maka Yuyun diperkosa. Jadi yang salah adalah miras bukan pelaku. O-kay!

Saya sudah mengikuti kampanye miras ini sejak lama. Karena walau gak follow, akun ybs selalu muncul di timeline saya. Ybs berkoar-koar untuk menghentikan suplai miras di Indonesia. Karena menurut beliau, miras adalah akar dari kejahatan dan tindakan asusila.

Saya sebenarnya bukan tipe yang senang membahas hal serius seperti ini. Bahkan hampir tak pernah membahas hal beginian karena otak saya gak nyampe. Meminjam istilah yang dilabelkan oleh seseorang di blognya, saya ini termasuk penyuka menye-menye atau remeh temeh.

Saya justru lebih senang dengan hal menye-menye. Kalau terlalu serius saya malah bisa stres. 

Maksudnya bukan saya tak pernah serius, itu ada waktunya. Lebih banyak saya menyukai apa yang tidak membuat otak saya bekerja keras untuk hal-hal yang bukan urusan saya. 

Tapi saya jadi tergelitik juga akhirnya buat menuangkan isi kepala di sini. Saya ingin membantah soal tuduhan miras sebagai pemicu perbuatan asusila atau kriminal seperti yang dituduhkan di kampanye miras. 

Etapi ini sih sesuai pengalaman saya aja. Saya bukan orang pinter jadi maafkan cara kerja otak saya yang sederhana dan menye-menye ini.

Saya hanya akan bercerita dari apa yang pernah alami. Sisanya silakan pembaca yang menyimpulkan sendiri.

Saya lahir dan besar di Bitung, Sulawesi Utara. Yang saat anak laki-lakinya beranjak remaja dan memasuki sebuah pergaulan mereka pasti harus bersentuhan dengan miras. Saya kasih contoh sedikit, tapi ini bukan curcol, ya. Ingat, bukan curcol.

Dulu di bangku SMA saat saya mulai berpacaran. Pacar saya adalah anak laki-laki yang cukup luwes bergaul. Pergaulannya bukan hanya dengan teman seangkatan, tapi juga akrab dengan kakak kelas. 

Setiap sore pacar saya ini selalu nongkrong di rumah salah seorang kakak kelas. Dalam seminggu mungkin bisa setiap hari pacar saya nongkrong bersama teman-temannya itu. Saat itu saya kayak gak punya pacar karena pacar saya lebih milih nongkrong sama teman-temannya ketimbang saya. Paling juga kalau ketemu cuma sejaman trus saya ditinggalin karena pacar sudah janjian dengan teman-temannya. Hiks. Err... ternyata bablas curhat, ya. Hahaha.

Saya sering mendengar bahkan cukup kenal dengan kakak-kakak kelas yang menjadi teman satu geng pacar saya saat itu. Saya cukup tahu track record mereka. Walau dari keluarga baik-baik, tapi namanya bergaul mereka pasti suka menegak miras jika ngumpul hore. Katanya gak laki kalau gak minum. Jadi pasti ada sebotol captikus atau minuman keras lain jika mereka janjian ngumpul hore untuk minum miras.

Kenapa saya tahu? Karena saya pernah bertemu pacar yang mulutnya sudah beraroma captikus dan sudah mabuk. Dan apa yang dia lakukan ke saya? Paling tinggi ya cuma french kiss lalu pulang saat saya suruh pulang.

Pacar saya bukan satu-satunya laki-laki yang saya kenal suka minum miras. Pergaulan saya yang cukup luas membuat saya mengenal banyak teman laki-laki. 

Dan hampir semua teman laki-laki saya itu akrab dengan miras. Not to mention my brother and my father. Mereka juga terbiasa minum miras. 

Saya juga sering ikut nongkrong dengan teman-teman laki-laki yang sudah menyiapkan berbotol-botol miras dan menemani mereka minum. Menemani aja ya gak ikut minum. Saya bukan tipe yang senang minum miras walau pernah nyobain sewaktu masih kuliah dan heboh dengan dunia malam. Lidah dan tenggorokan saya lebih senang dengan air mineral. Minum minuman soda aja saya eneg.

Bagaimana dengan saya di rumah? Saya sudah bilang kan kalau papa dan kakak laki-laki saya juga senang minum miras. Dulu sewaktu saya masih SD saja papa saya selalu pulang kerja dalam keadaan mabuk berat dan akan tergeletak di lantai sampai pagi. Kakak saya juga sering sekali pulang mabuk. Kebiasaan mereka berlangsung selama bertahun-tahun.

Di lain cerita, saat saya masih berseragam putih biru. Kalau tidak salah saat itu saya duduk di kelas 2. Suatu hari, wali kelas saya memanggil saya untuk ikut dengannya ke ruangannya. Itu terjadi di jam istirahat. Saat saya masuk ke dalam ruangan itu, wali kelas saya langsung menutup pintu. Ruangan menjadi sedikit gelap karena jendela yang tertutup tirai dan tak ada lampu menyala. 

Apa yang terjadi? 

Wali kelas saya tiba-tiba mencium bibir saya. Itu ciuman pertama yang saya terima dari seorang laki-laki. Ciuman terpaksa dan merampas ciuman pertama yang saya harapkan bisa terjadi dengan laki-laki yang adalah pacar saya nantinya. 

Spontan saya mendorong tubuh wali kelas saya dan langsung berlari keluar. Beruntung dia tidak mengunci pintu. Saya kembali ke kelas dengan perasaan marah tapi tidak tahu harus berbuat apa. Saya buka tipe pengadu, makanya saya tidak menceritakan peristiwa tersebut kepada guru atau orangtua saya. Kepada teman pun tidak. Saya simpan itu sampai saya dewasa. 

Saya hanya mencoba menghindar setiap kali bertemu wali kelas sejak kejadian itu. Dan saya baru tahu kalau itu ternyata adalah pelecehan seksual.

Itu pertama kalinya saya mengalami pelecehan seksual. Oleh seorang guru di jam sekolah.

Tapi ternyata saya mengalami pelecehan seksual bukan cuma sekali itu saja. Saat saya sudah bekerja, dan kebetulan baru saja menikah dan hamil muda. Saya ditugaskan oleh kepala bagian saya untuk pergi ke Manado. Saya memilih naik bus dari terminal yang tak jauh dari kantor. Saya ingat sekali perut saya sudah sangat menyembul karena usia kehamilan sudah masuk 5 bulan. 

Di bus, selain sopir ada kenek yang tugasnya menagih ongkos. Kenek itu berdiri di samping saya yang memilih duduk di dekat pintu. Karena jarak tempat duduk saya dengan pintu cukup dekat sehingga jarak saya dengan si kenek juga cukup dekat. Saya bukan orang yang jijikan atau ribet urusan duduk di kendaraan umum yang padat. Asal saya merasa nyaman, itu sudah cukup. 

Tapi tanpa saya sadari ternyata tangan si kenek sudah berada di samping paha saya. Dia bahkan sudah menggesek-gesekkan tangannya ke paha saya. Posisi saya duduk dan si kenek berdiri memang membuat posisi tangannya mudah menyentuh paha saya. Saya baru sadar ketika gesekannya mulai terasa. Si kenek yang juga sadar kalau saya mengetahui tindakannya langsung menarik tangannya dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. 

Saya di satu pihak hanya bisa kaget tanpa bereaksi lebih. Saya hanya menatapnya marah membuat si kenek mengalihkan pandangan ke luar pintu. Iya, saya memang tolol karena tidak reaktif. Tapi saya memang tidak suka menyebabkan keributan. Makanya saya memilih diam dan tidak menkronfontasi si kenek. Saya hanya berpikir, mungkin sedang apes saja.

Kejadian tersebut juga tidak saya ceritakan ke siapapun. Apalagi ke suami dan keluarga saya. Hanya saya simpan sendiri.

Nah, dari beberapa kejadian yang saya kisahkan di atas. Bisakah mengambil kesimpulan?

Selama saya berpacaran dengan pacar-pacar saya yang kebanyakan senang minum miras. Saya belum pernah mengalami pelecehan seksual ataupun diperkosa. Selama saya nongkrong dengan teman laki-laki yang sedang menikmati miras, saya juga tidak mengalami pelecehan seksual. FYI, dulu itu saya senang berpakaian sedikit terbuka. Senang pake rok mini atau hot pants. Saya selalu pulang atau bahkan diantar pulang tengah malam tanpa mengalami lecet sedikitpun.

Lalu bagaimana dengan papa dan kakak saya yang juga senang minum miras? Apa mereka pernah berbuat tindakan asusila atau kasar pada orang rumah, yaitu saya dan mama saya yang hanya kami saja perempuan di rumah? Tidak. 

Walau saya mungkin pernah bercerita kalau pernah papa dan mama saya berantem, lalu papa pulang mabuk sambil marah-marah. Mama harus mengungsikan kami ke rumah saudara. Tapi itu hanya satu kali kejadian seumur hidup selama papa saya senang minum miras. Lalu apakah itu salah miras?

Bagaimana dengan tindakan wali kelas saya saat saya masih SMP dan si kenek saat saya sedang hamil. Saat itu mereka tidak sedang minum miras. Jadi siapa yang harus disalahkan? Jokowi? Ahok? Konspirasi Yahudi?

Saya pikir semua sudah pada pinter mengambil kesimpulan dari cerita saya. Saya bukan pendukung miras. Saya aja gak senang minum miras. Saya hanya ingin memberi sudut pandang lain, kalau miras bukanlah penyebab Yuyun harus meninggal atau kasus-kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami perempuan lainnya. 

Para pelakulah penyebabnya.

4 comments:

  1. Sampai nangis bacanya. Setiap perempuan harus menjaga dirinya sendiri di luar sana. Kalau mau terbuka, setiap perempuan pasti pernah mengalami pelecehan seksual, baik yang paling ringan sampai yang paling berat, seperti kasus Yuyun. Pelakunya bisa dari berbagai 'rupa'. Dan meninggalkan trauma pada korbannya.

    ReplyDelete
  2. Dan kadang kita sebagai perempuan terlalu takut buat bercerita kalo kita pernah dilecehkan secara seksual. :(
    Semoga ada keadilan bagi para korban yang mengalami pelecehan seksual ataupun kasus pemerkosaan.

    ReplyDelete
  3. 40% dr ceritanya qt paham bahkan sangat paham,,,��������, Mantap ceritanya,,,,

    ReplyDelete