Wednesday, June 17, 2015

Tentang Bermedia Sosial

Kira-kira setahun lalu, gue udah mulai aware untuk tidak heboh membagikan foto anak-anak ke media sosial. Yang memengaruhi gue adalah Nadya Hutagalung dan Sophie Navita. Kebetulan gue mem-follow keduanya di Instagram. 

Di Instagram masing-masing, ketika memposting foto anak, selalu saja tampak belakang. Tak pernah kedua public figure itu memperlihatkan wajah anak mereka. Hal itu menyadarkan gue bahwa, tindakan gue memposting foto anak terkadang berlebihan. 

Kalau ada yang berpikiran,

"Emangnya elo siapa? Mereka kan artis, jadi wajarlah kalo nggak mau posting foto muka anak mereka. Ngapain ikut-ikutan?"

Pada kenyataannya, ada begitu banyak public figure yang dengan hebohnya memposting foto anak-anak mereka. Sebenarnya bukan masalah, gue public figure atau bukan, tapi lebih kepada privasi anak gue sendiri.
Tidakkah terpikir kalau setiap postingan kita sebagai orangtua yang mengabadikan semua momen sang anak itu berlebihan? Tidakkah terpikir apa yang akan dia rasakan di kemudian hari saat mendapati foto-foto di masa lalunya?

Lalu gue mendapat tamparan lain dari serial crime scene (gue lupa serial apa) yang gue tonton. Bercerita tentang penjahat dunia maya yang mengejar anak-anak belia karena foto-foto/akun mereka di media sosial. Hal itu cukup menakutkan. 

Bayangkan kalau terjadi pada anak-anak kita sendiri? Siapa yang harus disalahkan? Penjahat itu pasti. Tapi karena siapa sampai anak kita diincar? Tentu saja karena kita sendiri.

Reaksi yang akan muncul mungkin kayak gini, 

"Ah, itu kan cuma serial di televisi, jangan terlalu lebay deh."

Kebanyakan orang-orang menganggap remeh dunia maya, berpikir tak akan ada hal buruk yang terjadi kalau kita memposting sesuatu di dunia maya. 

Siapa bilang? 

Pepatah dunia maya justru bilang, hati-hati di internet. Karena sekali mengunggah foto atau tulisan di internet, selamanya akan ada di sana walau sudah dihapus sekalipun.

Banyak kasus orang di penjara hanya karena status yang ditulis di media sosial. Padahal maksud status itu privasi tapi tetap saja dijerat pasal UU ITE. Pernah terpikir kenapa begitu banyak penipuan juga di dunia maya? Karena ada begitu banyak orang yang mudah sekali ditipu hanya berbekal foto atau kata-kata manis belaka.

Karena kita tak pernah tahu batasan apa saja yang pantas dan tidak pantas dibagikan di media sosial. 

Tak ada batasan sama sekali. Semua orang dibebaskan untuk membagikan apa saja yang mereka lakukan. Mulai dari kegiatan sehari-hari, makan, minum, belanja, apa saja. Bahkan sampai hal-hal buruk (menurut gue), seperti membagikan foto orang lain tanpa sepengetahuannya dan menjadi bahan olokan (atau bahasa kerennya dijadiin meme). Sampai pada foto orang kecelakaan atau meninggal yang sudah menjadi mayat. 

Apa sih yang ada di kepala orang-orang saat membagikan foto mayat itu? Pernah terpikir kalau keluarga sendiri yang menjadi korban lalu orang lain seenaknya membagikan foto korban di media sosial? Gue sih gak terima. Kehilangan saja sudah sangat menyakitkan apalagi kalau foto mereka sudah menjadi mayat dibagikan di sana sini tanpa permisi.

Kalau kalian adalah teman di Path, pembaca blog saya atau follower di Twitter, kalian akan jarang sekali membaca gue bercerita soal anak-anak atau kehidupan rumah tangga gue di sana. Hampir tidak pernah malah. Kecuali Facebook yang masih menjadi tempat untuk membagikan foto anak, itu pun masih dalam porsi wajar. Gue lebih memilih membahas serial favorit, atau hal-hal random yang ada di kepala.

Gue gak bermaksud menggurui ataupun mengatakan kalau gue lebih baik daripada orang lain. Tidak, gue juga masih banyak belajar. Salah satunya belajar untuk tidak berlebihan di media sosial.

Bagi gue media sosial itu tak lebih dari tempat bermain semata. Bukan tempat untuk menuangkan semua hal tentang diri kita.
Berilah privasi sedikit untuk diri, anak-anak dan keluarga kita.