Agak telat untuk posting ini, mungkin karena saya harus nyiapin mental yang (masih) berantakan setelah mendengar hasilnya di malam penganugerahan kala itu.
Kalau mau flashback ke belakang, saya selalu menguji kemampuan saya. Dulu saya rajin sekali ikut lomba menulis sebagai motivasi untuk terus berkembang. Saya bahkan ikut lomba dari Gramedia Writing Project selama tiga kali. Itu karena saya sangat berharap karya saya dilirik dan dianggap layak terbit.
Pada percobaan ketiga itulah karya saya beneran nyantol. Nama saya dibaca sebagai lima besar pemilik karya yang akan dikontrak dan diterbitkan. Kebayang kan rasa bangga saya ke diri saya sendiri.
Setahun berlalu, novel pertama saya terbit di bulan September 2018. Dengan Gramedia sebagai penerbitnya. Sebuah pencapaian yang tak terhingga masa itu.
Lalu saya punya goal baru lagi, ingin diundang ke UWRF atau MIWF. Betapa prestisenya ini bagi saya. Tapi untuk masuk ke sana, salah satu cara saya harus lolos dulu di Sayembara Novel DKJ.
Awal tahun 2023, sayembara ini dibuka. Dengan pedenya saya ikutan. Saya menuliskan cerita yang jarang diangkat atau bahkan tabu. Bagi masyarakat mungkin cerita ini terlalu kontroversi. Saya menambahkan bumbu lokalitas dari daerah kelahiran saya. Karena memang sebagian besar kejadiannya beneran terjadi di sana.
Lalu saya berharap cemas ketika saya submit karya saya, menunggu pengumuman, sampai girang sekali ketika saya mendapat undangan di email dan WhatsApp. Saya kira itu spesial. Ternyata semua peserta dapat.
Saya pergi mengajak kedua anak saya, kebetulan suami sedang di luar kota. Lagipula, itu kali pertama saya ka Taman Ismail Marzuki. Bayangkan, selama hampir 15 tahun tinggal di Tangerang. Baru itu perdana saya main ke TIM. Saya ajak kedua anak biar mereka juga merasakan experience baru ke lokasi itu. Kami mengikuti malam penganugerahan sambil duduk di sayap teater sebelah kanan. Menikmati pembukaan dari beberapa musisi lokal sampai pembacaan laporan tanggung jawab dari ketua dan para juri. Sembari saya berharap nama saya disebut dalam suatu kategori. Saya tidak berharap masuk tiga besar. Disebut dalam karya yang disukai juri saja sudah suatu pencapaian.
Nyatanya, selama hampir satu jam lebih kami di dalam teater. Sampai pemenang pertama disebutkan. Nama saya tak pernah bergaung. Kecewa? Jelas. Saya menaruh ekspektasi di diri saya. Berlebihan mungkin sehingga jatuhnya cukup sakit.
Memang seharusnya saya tahu kapasitas diri saya, hanya saja ketika saya menyertakan karya saya di sayembara ini. Saya merasa saya sudah menyiapkan secara matang. Ide cerita, konsep, sampai proofreading agar saya bisa menerima banyak masukan dan melakukan perbaikan. Ternyata karya saya masih jauh dari level untuk sayembara ini.
Saya ingat malam itu saat keluar teater sambil menunggu mobil jemputan datang, saya menangis. Anak perempuan saya memeluk dan menguatkan saya. Rasanya tak salah saya mengajak mereka berdua. Kalau saya pergi sendiri, rasa hancurnya jauh lebih berat kayaknya.
Tapi lagi-lagi, sebagai orang Indonesia. Mau seburuk apa pun hasilnya kita diajarkan untuk tetap mengambil hikmahnya. Tetap diajarkan bersyukur. Jadi saya bersyukur karena sudah melalui satu kali lagi proses untuk terjatuh, satu kali lagi saya disuruh untuk bangkit, satu kali lagi saya harus berjuang agar ke depannya saya bisa memberikan hasil yang lebih baik.
Awal-awal setelah pengumuman saya mungkin tak mau bersinggungan dengan segala afirmasi omong kosong tentang kekalahan adalah kemenangan yang tertunda ini. Saya jelas-jelas declare kalau saya totalitas sudah menyerah. Sekarang, mungkin ada saya akan memberikan kesempatan lagi untuk menguji "ah, masa karya saya nggak bisa tembus ke sayembara ini?"