Tanggal 17 September 2019 kemarin,
saya berkesempatan hadir di acara Danone Indonesia yang kembali mengedukasi
masyarakat dengan kegiatan ‘Bicara Gizi – Menghadapi Kehamilan Risiko
Tinggi’ yang membahas pentingnya asupan gizi seimbang dan dukungan
lingkungan untuk mendukung ibu dengan kehamilan berisiko tinggi.
Karena rata-rata semua perempuan
menikah pasti ingin memiliki keturunan. Yang menjadi masalah, tidak semua
kehamilan bagi perempuan itu aman, ada juga yang berisiko tinggi. Yang menjadi
narasumber pertama adalah Dr. dr. Ali
Sungkar SpOG(K), Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan.
Di Indonesia, angka kematian ibu
hamil jauh lebih besar dibanding negara tetangga. Penyebab terbesar kematian
ibu hamil di tahun 2014 adalah pendarahan dan hipertensi. Namun sebanyak 35%
penyebab lainnya ikut meningkat sehingga perlu diperhatikan juga saat pelayanan
antenatal.
Tidak ada larangan kalau
perempuan ingin hamil, tapi harus tahu risiko yang akan dihadapi nanti. Karena
hamil itu seharusnya adalah perencanaan matang bukan hanya asal kepengin
beranak pinak saja. Kehamilan berisiko tinggi itu terbagi:
1. Hamil dengan penyakit penyerta:
Asthma, Kelainan Paru, Diabetes, Kelainan Jantung, Kelainan Ginjal, Penyakit
Autoimun (SLE, APS, dll).
2. Hamil dengan penyulit: Pre
Eklampsia, Eklampsia, GDM, Hipertensi, IVF, Miom, Kelainan letak plasenta,
Infeksi, Ancaman persalinan preterm.
3. Hamil dengan riwayat operasi
terdahulu: Operasi ginekolog, Operasi jantung, dll.
4. Usia saat hamil: Risiko kelainan
kongenital, hormon.
Bagi ibu-ibu yang memiliki
kondisi khusus dan merencanakan untuk hamil, harus mempertimbangkan isu-isu
penting yang akan terjadi ke depannya semisal: Apakah kehamilan membuat kondisi
penyakit menjadi berat? Apakah penyakit memengaruhi kehamilan? Apakah
pengobatan yang diberikan untuk penyakit dan kehamilan perlu modifikasi? Apakah
penyakit diturunkan?
Belum lagi pemenuhan gizi selama
kehamilan itu sangat penting dan memengaruhi perkembangan generasi selanjutnya.
Salah satu risiko kehamilan apabila ibunya tidak memperhatikan gizi bagi
dirinya sendiri adalah terjadinya malnutrisi yang akan menyebabkan stunting.
Pemenuhan makro dan mikro nutrisi selama masa kehamilan menjadi salah satu
faktor berpengaruh pada perkembangan dan kesehatan sang anak nantinya.
Makanya sudah sering sekali
digalakkan pentingnya pemenuhan gizi selama 1000 HPK. 1000 HPKini dihitung dari
masa antenatal
(270 hari) ke masa early post natal/infancy (365 hari) sampai masa early
childhood (365 hari).
Perbaikan nutrisi selama kehamilan
ini juga bertujuan memperbaiki keturunan untuk generasi selanjutnya. Dalam
Internatinal Journal of Gynecology and Obstetrics merekomendasikan untuk “Think
Nutrition First” atau balik ke gizi.
Selain pentingnya tahu risiko
kehamilan, perlu tahu juga kalau semasa hamil ibu-ibu itu butuh dukungan. Yang menjadi
narasumber kali ini adalah Putu Andani,
M.Psi., Psikolog dari Tiga Generasi. Menurut beliau, hamil itu rentan
sekali dengan stress, apalagi yang hamil dengan risiko tinggi.
Tiap trisemester memilik fase
masing-masing dengan banyak perubahan. Jika ibu hamil terpapar dampak negatif
selama masa kehamilan risiko yang akan dialami akan sangat besar, sehingga
penting untuk bisa memutus dampak negatif terhadap kehamilan sejak awal. Itu
lah pentingnya support system yang
turut bekerja sama selama masa kehamilan.
Siapa saja yang dapat membantu
seorang ibu menanggulangi stress selama masa kehamilan? Pertama tentu saja diri
ibu itu sendiri kemudian suami dan terakhir adalah keluarga/teman dekat.
Kenapa diri ibu sendiri perlu
menjadi support system juga? Karena
seorang ibu hamil paling tahu dirinya sendiri dan harus bisa mengatasi problem
focus dan emotional focus yang sering muncul selama masa kehamilan. Biasanya
stress yang dialami akibat fokus justru dimunculkan dari luar masalah.
Peran suami juga sebagai
pendukung sangat penting sekali. Menurut penelitian, dukungan suami dapat
secara signifikan meningkatkan kondisi kehamilan ibu dibandingkan keluarga atau
teman dekat (Glover, 2014). Para suami harus paham kalau kehamilan itu bukan
hanya kehamilan bagi sang istri tapi juga kehamilan berdua, karena janin yang
tumbuh hasil kesepakatan dan pembuahan bersama bukan sendiri-sendiri.
Sedangkan dukungan dari keluarga
atau teman dekat bisa dilakukan dengan membicarakan hal-hal positif,
menciptakan suasana menyenangkan tanpa banyak berkomentar tentang body shaming atau pengalaman tidak
mengenakkan selama masa kehamilan lainnya.