Nggak kerasa anak-anak sudah masuk sekolah lagi setelah libur kenaikan kelas
selama lebih dari tiga minggu. Anak-anak saya baru saja masuk sekolah tanggal 17
Juli kemarin. Sebagai ortu kenaikan kelas itu pasti bakal bikin pusing, dari
daftar ulang, beli buku pelajaran, seragam, dan segala printilannya. Belum lagi
uang SPP yang naik terus tiap tahunnya. Setelah mengurus semua itu, hari ini
saya baru bisa menulis apa yang dialami anak sulung saya seminggu yang lalu.
Kami baru saja pindah rumah setelah menetap di Cisauk selama hampir 14 tahun.
Pada awal bulan Juli ini, kami memutuskan pindah ke dekat sekolah anak. Tentu
saja ini dilakukan dengan banyak pertimbangan. Yang tinggal atau pernah ke
Cisauk pasti tahu lah alasan utamanya tentu saja karena kemacetan luar
binasanya. Terlepas sekarang sedang dibangun flyover, yang justru bikin
macet makin parah. Level toleransi saya sudah habis kayaknya.
Tempat kami yang
baru ini ke sekolah hanya tiga menit, belum lagi lokasi perumahan dekat tol.
Apa-apa terasa lebih namaste di lingkungan baru ini. Setidaknya untuk
sekarang.
Kami pindah saat anak-anak masih libur sekolah. Setelah menempati
rumah selama berapa hari, di hari Sabtu, tepatnya tanggal delapan, anak sulung
saya meminta izin untuk nonton konser JKT48 di Spark. Si kakak sudah izin sejak
dua minggu sebelumnya. Saya bahkan yang memesankan tiketnya secara online. Anak
saya hepi banget. Ternyata selama beberapa bulan belakangan, dia sedang ada di
fase mengidolakan sesuatu, dalam hal ini girl group JKT48. Oshinya konon bernama
Michie.
Di Sabtu pagi itu, si kakak bangun dengan amat bersemangat, padahal hari
Jumat sore dia baru saja latihan sepakbola dan pulang malam. Tadinya dia bilang
mau ketemu sama teman-temannya sekitar pukul sepuluh. Saya tanya, konsernya jam
berapa. Jam tiga sore jawabnya. Jelas saya tidak perbolehkan. Terlalu dini untuk
datang. Lagian mau ngapain dalam jeda selama itu.
Awal mula saya mengizinkan dia
pergi karena dari pertama cerita ada empat temannya yang mau menonton. Jadi
mereka berlima yang akan ke konser bareng-bareng. Rencananya mau naik KRL, turun
di Stasiun Palmerah, lalu ke Spark. Saya mengizinkan karena lokasi Spark yang
tak jauh dari Stasiun Palmerah tadi. Dan itu ada di pusat kota. Seharusnya semua
aman.
Si kakak jadinya berangkat pukul satu siang. Rencananya akan bertemu
dengan temannya di Stasiun Rawabuntu. Suami saya yang mengantarkan ke stasiun.
Hari itu, sebelum pergi, saya sempat ngasih ide, gimana kalau papanya nemenin
sampai Stasiun Palmerah. Anak saya menolak, dia mungkin merasa risih jika
dirinya ditemani orang tua sementara dia jalan sama temannya. Akhirnya opsi ini
gugur. Papanya hanya mengantar sampai stasiun, menunggu sampai dia bertemu
temannya, lalu balik ke rumah. Saya punya kebiasaan memantau anak-anak dan suami
bepergian lewat Find My Device. Tentu saja bukan karena saya posesif atau
menerobos privasi mereka, ini murni saya lakukan hanya untuk memastikan
keberadaan mereka di luar rumah baik-baik saja. Suami dan anak-anak saya juga
tidak keberatan saya pantau.
Sebelum si kakak berangkat, saya isikan kuota, lalu
minta dia aktifkan lokasi hpnya. Setelah dia ditinggal papanya, saya mengecek
lokasi keberadaannya. Keretanya sudah jalan, di layar ponsel saya sudah
mendekati Jurangmangu. Oh, sudah sama teman-temannya pikir saya. Saya lalu
mengirim WA, minta si kakak berhati-hati karena dia bawa tas pinggang kecil,
lalu minta dia foto ketika sudah sampai di Spark.
Beberapa menit berlalu saya kembali mengecek lokasi hpnya. Sudah di sekitaran
Spark. Saya lalu mengirim chat di WA untuk memastikan dia sudah sampai. Centang
satu. Dheg!
Jeda antara chat balasan ke chat berikut hanya berapa menit saja. Kok centang
satu? Saya pindah cek lokasi hpnya, tak terdeteksi. Padahal sebelumnya terbaca
di depan Spark. Eh, kenapa ya? Saya sempat bilang ke suami, chat si kakak
centang satu tapi sudah di Spark. Jangan-jangan terjadi sesuatu.
Namanya
bapak-bapak pasti selalu menyikapi sesuatu dengan tenang. Suami meyakinkan saya
agar tidak kuatir. Bisa saja nggak ada sinyal atau si kakak sedang
bersenang-senang dengan teman-temannya. Saya pun menurunkan kadar kekhawatiran
saya. Iya, mungkin saja dia sedang hepi-hepinya karena mau nonton konser bareng
teman dan melihat oshinya secara langsung. I know how it feels.
Tak seberapa lama, suami memutuskan untuk mengajak saya dan anak bungsu
berenang. Lokasinya hanya sepuluh menit dari rumah. Anak bungsu saya tentu saja senang. Dengan antusias dia nyiapin baju renang, handuk, baju dan perlengkapan
mandi. Pukul setengah tiga kami berangkat menuju kolam renang. Kolam renang yang
kami datangi adalah kolam renang yang sering dipakai sekolah anak-anak setiap
kali ada jadwal renang. Saat kami datang lumayan ramai. Untung masih ada sisa
tempat duduk.
Anak saya langsung loncat ke kolam renang karena dari rumah memang
perginya sudah dengan baju berenangnya. Tak lama suami saya menyusul turun ke
kolam, saya sempat bikin instastory ketika mereka ada di kolam. Niatnya ketika sudah
semakin sedikit yang berenang baru saya akan ikutan. Sebuah tanda petir muncul
di layar hp. Notifikasi telepon masuk tapi diblokir. Saya memang setting hp saya
untuk memblokir nomor tak dikenal. Tanda petir muncul berulang-ulang.
Perasaan
saya tidak enak. Langsung kepikiran buka WA di nomor yang satunya lagi.
Kebetulan hp saya memang dual SIM dan WA nomor satunya pakai
third party aplikasi. Ada chat dari nomor tak dikenal. Pas saya baca,
seperti ada godam menghantam dada. Itu chat dari anak saya.
Si kakak ternyata minta tolong ke orang yang ditemuinya untuk menghubungi saya.
Sontak saya langsung menelepon ke nomor yang digunakan anak saya. Terdengar
suara bapak-bapak di ujung telepon. Tadinya dia bingung saya siapa, beberapa
detik kemudian dia sadar kalau teleponnya baru saja dipinjam seorang anak
laki-laki.
Dada saya berdegup kencang saat si bapak bilang anak saya baru saja
diambil barang-barangnya. Tak seberapa lama ada telepon lain dari nomor tak
dikenal. Saat saya angkat, dari seorang bapak-bapak lagi. Katanya anak saya
sedang bersama dengannya. Sekarang mereka sedang berdiri di depan rumah kami.
Saya panik, langsung minta suami dan si kecil untuk segera pulang. Saking
paniknya saya memilih memesan ojol karena suami dan anak kedua masih
bersiap-siap.
Motor melaju dengan cepat, saat tiba di depan rumah sudah ada
suami dan anak kedua yang duluan sampai. Anak sulung berdiri di samping
bapak-bapak tua. Si bapak-bapak menceritakan kejadiannya, dia mengantarkan
anak saya dari Stasiun Rawabuntu sampai ke rumah. Saya lalu memberikan uang
100rb sebagai pengganti ongkos. Bapaknya sangat berterima kasih. Saya justru
yang bilang terima kasih banyak sudah mengantarkan anak saya dengan selamat.
Si
kakak langsung memeluk saya setelah saya ngobrol dengan si bapak tua. Tangisnya
pecah di pelukan saya. Badannya bahkan bergetar ketakutan. Setelah tangisnya
reda. Saya dan suami mengajaknya masuk. Di ruang tamu kami minta dia cerita
kronologisnya. Apa yang terjadi setelah mereka sampai ke Stasiun Palmerah. Si
kakak mulai bercerita dengan nada bergetar. Ternyata dia hanya pergi berdua
dengan seorang teman. Tiga teman lainnya batal pergi. Saat mereka sampai ke
Stasiun Palmerah, temannya mengusulkan untuk berjalan kaki saja menuju Spark.
Saat keduanya sudah hampir sampai ke pintu masuk Spark, mereka dihadang tiga
lelaki dewasa. Salah satunya langsung mendekati anak saya dan menuduh anak saya
adalah pelaku pemerkosaan. Anak saya harus ikut dengan salah satu dari mereka
bertemu dengan orang tua korban. Anak saya dengan kebingungan hanya bisa mengikuti skenario pelaku.
Sebelum pergi si kakak diminta menyerahkan tasnya ke temannya. Dia hanya menurut
saja. Akhirnya ikut dengan salah seorang pelaku naik motor. Tahunya si kakak
justru ditinggal di bawah flyover. Sampai berapa menit si pelaku tak kembali. Si
kakak yang kebingungan memilih untuk berjalan menjauhi tempat itu. Di jalan dia
hanya bisa ketakutan, nggak tahu mau ngapain.
Gimana nggak bingung, ini kali pertama dia jalan seorang
diri. Ke daerah yang baru kali itu juga didatangi. Memang ya, Tuhan itu baik.
Saat dia tengah kebingungan, si kakak dihampiri seorang ojol dengan seragam
berwarna jingga. Anak saya cerita apa yang dia alami. Sama si abang ojol dia
diajak naik, mereka muterin Spark, temannya sudah tak ada. Abang ojol lalu
nganterin si kakak ke stasiun, bahkan memberikan uang lima ribu rupiah biar bisa
top up kartu KRL. Berbekal itu, anak saya bisa kembali ke Stasiun Rawabuntu. Di
sanalah dia bertemu dengan bapak tua yang mengantarkan kembali ke rumah.
Sorenya saya langsung update kejadian anak saya ini di Twitter. Viral.
Baca replies dan quotes, ternyata ini modus lama. Banyak yang pernah jadi
korban, mostly saat mereka masih SMP atau SMA. Masa di mana mereka masih
dianggap lugu dan polos sehingga gampang diintimidasi lalu diambil
barang-barangnya.
Saya tentu saja marah sekali dengan apa yang menimpa anak saya. Apalagi dia dituduh sebagai pelaku pemerkosa. Narasi macam apa ini. Anak saya, si kakak, anak yang nggak pernah punya pikiran jahat ke orang lain, anak yang hatinya mudah terenyuh ketika ada orang lain kesusahan, dituduh begini. Sakit sekali hati saya sebagai seorang ibu. Saya yang mengurus dia dari bayi, si kakak dan adiknya seorang diri. Saya yang menghabiskan 14 tahun usianya ada selalu dalam hidupnya. Saya tahu sekali anak saya ketika dewasa nanti nggak akan menjadi laki-laki seperti itu.
Tapi saya bersyukur karena anak saya bisa kembali ke rumah dengan selamat. Masalah dia
harus kehilangan hp dan duit, biarlah itu masih bisa diganti. Asal dia selamat.
Oh iya, temannya juga selamat. Saya dan suami bisa menemukan nomor bapaknya.
Kami saling berkabar. Teman anak saya ketemu saat sudah magrib dan diantar
petugas polisi ke rumahnya. Tas anak saya yang dipegangnya dan hp miliknya
diambil oleh para pelaku. Teman si kakak ternyata dibawa juga ke suatu tempat
lalu ditinggalkan di tempat itu sendirian. Anak saya sangat lega saat tahu
temannya juga selamat. Bayangkan, mereka hanya anak-anak usia 14 dan 12 tahun.
Sebuah pembelajaran luar biasa bagi saya dan suami sebagai orang tua, bahkan
jadi pelajaran hebat bagi anak kami. Banyak hal yang bisa dijadikan hikmah dan
banyak-banyak bersyukur.
Saat kejadian yang menimpanya saya jadikan utas dan
tulisan ini dibuat, saya sudah minta konsensual dari anak saya. Dia setuju untuk
saya publikasikan agar bisa menjadi pelajaran bersama dan warning bagi orang tua
dan anak-anak lain.
Saya berdoa semoga para pelaku bertobat. Seharusnya saya
mendoakan mereka yang buruk-buruk saja tapi saya tidak ingin kehilangan kasih.
Lagipula, di balik kejadian itu, ketika saya marah dengan para pelaku, tetap ada
saja orang baik yang menolong. Buktinya anak saya bisa pulang tanpa kurang suatu
apa pun.
Siapa pun yang membaca ini, semoga kita semua dijaga dan dilindungi
dari hal-hal buruk semacam ini.