Iya susah. Banget. Itu jawaban saya untuk judul yang saya buat.
Kenapa?
Saya mulai aktif menulis dan ikut lomba menulis sejak tahun 2010. Sejak saat itu sampai sekarang sudah lumayan banyak karya yang saya hasilkan.
Di awal mula saat saya menulis, tentu saja sama seperti kebanyakan penulis pemula pada umumnya. Pengin karyanya diterbitkan oleh penerbit besar dan mejeng di toko-toko buku. Saya udah browsing sana sini, nanya sana sini, caper sana sini, sampai akhirnya saya jadi tahu. Menerbitkan buku di penerbit besar itu sulit sekali.
Saya sendiri terhitung cukup beruntung karena naskah novel pertama langsung diterima sebuah penerbit besar.
Tapi...
Iya, ada tapinya.
Perjalanan menuju terbit itu sendiri tidak mudah. Oke, sebenarnya sampai sekarang, sih, buku saya itu belum terbit. Biar jelasnya saya akan ceritakan dengan ringkas kronologinya.
Setelah naskah novel saya diterima, saya harus menunggu dalam ketidakpastian. Tidak pasti karena tidak ada komunikasi lagi dari pihak penerbit usai mengirimkan saya MoU. Bulan demi bulan berlalu. Saat memasuki bulan keenam setelah naskah disetujui, saya mencoba menghubungi pihak penerbit. Jawaban mereka masih bisa diterima, harus antri. Oke!
Bulan demi bulan berlalu berganti tahun. Saya kembali bertanya melalui email. Bahkan saya mengemail juga pemilik penerbit demi mendapat kepastian. Karena di medsos, kayaknya naskah yang diterima oleh penerbit itu cepat sekali terbitnya. Tapi jawabannya...
Masih harus menunggu lagi. Ehem...
Saya lupa pastinya berapa kali saya berbalas email dengan pemilik penerbit yang ada di Jogja itu. Sampai saya juga lupa kalau sekarang udah tahun 2015, itu artinya sudah 4 tahun naskah saya masih di-php-in.
Wait, kalo saya terusin cerita nanti saya jadi emosi jiwa. Pokoknya ringkas kata sih, novel saya di penerbit itu entah bagaimana kabarnya. Apakah bakal diterbitkan atau nunggu dunia mengalami kepanikan massal karena zombie apocalypse. *krai*
Demi tak memusingkan lagi kapan novel saya terbit. Saya memilih untuk terus menulis. Karya-karya saya yang lain, beberapa mulai masuk di antologi dari lomba menulis yang diadakan penerbit. Saya cukup senang dengan itu, walau keinginan paling besar tentunya buku solo saya juga segera terbit.
Oh iya, sebelum naskah novel saya diterima penerbit itu. Awal mula bukunya saya terbitkan secara self publishing.
Hal yang tidak menyenangkan dari terbitnya sebuah buku secara mandiri adalah, seringnya mendapat pertanyaan "Bukunya udah ada di toko buku atau belum?" jika sedang mempromosikan buku di media sosial. Saya bukannya gak pernah ngejelasin, justru saya udah bosen memberi penjelasan di setiap status yang saya posting. Masih banyak yang beranggapan kalau udah nulis buku tentu saja gampang diterbitkan dan pasti mejeng di toko buku. FYI people, menerbitkan buku tidak semudah itu. Prosesnya panjang dan tak mudah. *le sigh*
Well, karya saya bukannya belum ada yang masuk toko buku. Tadi kan saya udah bilang kalo beberapa karya saya masuk dalam antologi yang diterbitkan penerbit besar.
Ini beberapa buku saya yang terbit secara mayor dan (pernah) ada di toko buku; Lovediction 2, Cerita Horor Kota, Curhatku Untuk Semesta, The Story of Dogs.
Sekarang kalo gak keliatan di toko buku konvensional mungkin bisa dicari di toko buku online. ^^
Belakangan ini saya baru saja menyelesaikan beberapa naskah novel. Niatnya tentu saja pengin nyoba masukin ke penerbit besar lagi. Etapi, saya masih rada malas karena setelah kejadian di naskah pertama saya, naskah kedua juga mendapat perlakuan serupa. *self pukpuk*
Tapi... kalau tidak diterima di penerbit besar, masih ada jalan lain.
Self publishing. Lagi.
Sudah ada beberapa buku baru yang saya terbitkan secara mandiri, A Journey, Hollow Bender, dan Pangeran Serigala dan Gadis Penyihir. Saya lagi pengin membuat draf yang terabaikan di folder laptop agar memiliki fisik. Kali aja dengan terbit mandiri, eh malah dilirik penerbit besar. Who knows?
Tapi yang saya heran, masih banyak yang beranggapan kalau menerbitkan secara self publishing berarti hasilnya jelek. Eits, jangan salah. Tidak semua buku yang terbit indie seperti itu. Banyak yang hasilnya bagus seperti layaknya terbitan penerbit besar. Bahkan terbit secara mayor juga kadang bukan jaminan kok buku yang terbit isinya bagus. Ada buku terbitan penerbit besar yang pengin saya robek-robek isinya saking kesel karena EYD di dalamnya yang berantakan.
Saya akui, untuk awal mula buku pertama yang terbit secara self publishing masih banyak kekurangan. Cover yang standar, ceritanya yang belum tamat, dan isi yang berantakan. Bwahahaha. Tapi di beberapa buku yang sebutkan di atas, saya sudah berusaha untuk tidak mengabaikan isi cerita dan tata bahasa di dalamnya.
Pada akhirnya semua kembali kepada pembaca, suka atau tidak dengan cerita yang ditawarkan. Saya hanya berharap cerita yang saya hadirkan bisa dinikmati.
Demikian uneg-uneg saya. Semoga, udah nggak ada lagi yang nanya,
"Bukunya udah ada di toko buku atau belum?"