Thursday, July 19, 2018

Menghadapi Minggu Pertama Sekolah


Hampir pukul 01.30 pagi baru lah gue bisa masuk ke dalam kamar. Dua krucil sudah lelap sejak pukul 20.00 tadi. Gue mendaratkan ciuman selamat malam di pipi keduanya secara bergantian sebelum merebahkan diri di samping keduanya. Sambil mencoba memejam mata sambil berharap agar jam di dinding berdetak lambat. 

Tubuh gue masih sangat capai tapi beberapa jam lagi harus segera bangun dan menyiapkan dua krucil. Senin pertama masuk sekolah telah datang. 

Sebulan itu rasanya cepat sekali. Si adek rasanya masih bersenang-senang di TK tahu-tahu sudah berseragam putih merah. Si kakak juga tidak terasa sudah naik ke kelas IV. Kenapa waktu cepat sekali membuat anak-anak ini bertumbuh pesat? Sakit selepas lahiran rasanya masih terasa. Kok tahu-tahu sudah sebesar ini? 

Hari pertama sekolah adalah perpaduan antusiasme dan kelelahan. Bahagia karena para krucil ternyata menikmati, terutama si adek yang harus beradaptasi. Turns out, she adapted so well. Apalagi dia tahu, her mom and dad were watching her back at first day. 

Sekarang sudah masuk hari keempat, gue masih loyal pada kebiasaan bangun subuh, siapin bekal, bangunin krucil, let them breakfast, dan ikut berangkat ke sekolah karena si adek pulang cepat selama seminggu ini. 

Pulang ke rumah urusan sekolah berganti urusan rumah. Sore menjelang malam gue menjadi pengawas yang memeriksa agenda dan tugas mereka. Lalu sebelum pukul 20.00 memastikan keduanya tidur tepat waktu agar bangun tidak kesiangan. Gue sendiri baru akan pulas menjelang tengah malam usai segala urusan untuk esok hari selesai dipersiapkan. 

Selama di sekolah gue duduk di kantin sekolah selama 4 jam sambil mendengar ocehan para mahmud yang turut serta menunggu anak mereka. Atau ketika bahasan mereka mulai terdengar membosankan gue memilih menonton Youtube atau streaming drakor di hp. 


So far, kedua anak gue menikmati masa masuk sekolah mereka. Si adek dengan antusiasme murid baru. Si kakak sebagai kakak kelas yang bangga bisa menjadi guardian bagi adeknya.

Dan gue dengan kegiatan itu itu saja. Tidak mudah tapi menyenangkan. 

Monday, July 16, 2018

Manusia Terbang dari Manado

Lelaki berperawakan kurus itu mendarat sempurna di landing site. Tepuk tangan bergemuruh terdengar dari teman-teman satu timnya yang ikut menjadi suporter.  


Source: Gerry Wowor Facebook
Dia merapikan parasutnya sendiri sebelum berkumpul bersama teman satu tim. Fokusnya kini pada peserta lain yang bergantian mendarat di landing site. Pada tanggal 27 Juni sampai 1 Juli 2018 diadakan Kejurnas Paralayang Indonesia di Tetempangan Hill. Lokasinya berada di Koha, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa. Bukit Tetempangan berada di ketinggian 568 meter di atas permukaan laut (mdpl). Teman saya menjadi salah satu peserta yang mewakili Sulawesi Utara di event ini. 

Sudah kali kesekian, Manado menjadi tuan rumah olahraga Paragliding. Pada tahun 2017 bahkan terpilih menjadi tuan rumah untuk event internasional Piala Dunia Ketepatan Mendarat Paralayang bertajuk Paragliding Accuracy World Cup (PGAWC) seri 1. Suatu kehormatan bagi tanah Minahasa karena bisa ikut memperkenalkan pariwisatanya di mata dunia.

Source: Kawanua Paragliding Club Facebook
Saya sendiri tidak mengira jalan hidup akan membawa teman saya sampai pada dunia penerbangan ini. Tadinya saya pikir dia akan mengikuti panggilan hatinya sebagai seorang pendaki gunung. Kami dulu berkenalan di gunung dan berpisah juga karena gunung. Saya sempat kehilangan kontak dengan teman saya ini karena kesibukannya mencapai puncak beberapa gunung di Indonesia. Salah satunya, Cartenz Pyramid. 

Kok tiba-tiba bisa jadi penerbang di paragliding ini gimana ceritanya? Tanya saya penasaran. Iseng, katanya. 

Saya berspekulasi karena dia menyukai tantangan dan ketinggian, sehingga mudah sekali untuk langsung tertarik dengan paragliding yang membutuhkan nyali besar. 

Ya, tidak semua orang bernyali untuk menguasai olahraga satu ini. Karena paragliding harus lepas landas dari lereng bukit atau gunung dengan memanfaatkan angin. Angin adalah sumber daya angkat yang menyebabkan parasut bisa melayang tinggi di angkasa terdiri dari dua macam yaitu, angin naik yang menabrak lereng (dynamic lift) dan angin naik yang disebabkan karena panas (thermal lift). Jika tidak bernyali seperti saya, pasti sedikit sulit untuk menyukai olahraga ini. 

Paragliding pertama kali muncul di awal tahun 80-an. Tidak jelas siapa yang lebih dulu memulainya. Namun paragliding ini melewati proses yang cukup panjang dan diilhami oleh kegiatan gantolle dan terjun payung. 

Di Indonesia, paragliding baru mulai dikenal awal tahun 1990 yang ditandai dengan terbentuknya Kelompok Paralayang MERAPI di Yogyakarta. Beberapa pemula yang mencoba paragliding ini berlatih secara otodidak melalui manual-manual dan majalah-majalah paragliding sampai akhirnya menjadi pelopor penerbang pertama di Indonesia.

Olahraga paragliding di Indonesia berada di bawah Pordirga Layang Gantung Indonesia (PLGI) di bawah naungan PB FASI. Sedangkan organisasi internasionalnya, Commission Internationale du Vol Libre (CIVL) di bawah naungan FAI.

Di Manado sendiri, paragliding baru mulai disenangi tahun 2014. Franky Kowaas adalah orang yang berperan di balik olahraga udara ini sehingga bisa dikenal di Manado. Dia adalah atlet olahraga ekstrem dengan segudang prestasi. Pada Kejuaraan Dunia Paragliding (Paragliding World Cup) dan Kejuaraan Paragliding Asia sekaligus Kejurnas Pargliding di Lombok NTB 5 - 7 Agustus 2016, ia menjadi atlet satu-satunya yang mewakili Sulawesi Utara.

Teman saya tentu saja mengenal Franky Kowaas yang juga adalah seniornya. Paragliding tadinya hanyalah kegiatan rekreasi semata bagi teman saya. Perlahan olahraga ini mengubah jalan hidupnya. Dari dipandang remeh keluarga sendiri sampai akhirnya dia bisa membuktikan kalau dirinya bisa memberikan yang terbaik melalui paragliding.

Saya hanya bisa berharap, semoga suatu waktu kelak teman saya bisa ambil bagian menjadi perwakilan Sulawesi Utara dan mengharumkan nama daerahnya di ajang olahraga nasional sampai mendunia. Perjalanannya masih panjang, tapi semua bisa dimulai secara bertahap. Dukungan bersama dari berbagai pihak itu paling penting. 

Apalagi, di Asian Games 2018 ini paragliding akan menjadi salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan untuk pertama kalinya. Olahraga udara ini nantinya akan berlokasi di Gunung Mas, Bogor. 

Ada 3 kategori dalam olahraga paragliding:  
1. Akurasi  
2. Cross country  
3. Aerobatic 

Tapi di Asian Games 2018 nanti nomor pertandingan hanyalah accuracy (ketepatan mendarat) dan cross country (lintas alam).

Saya bertanya pada teman saya, apa alasan dia menyukai paragliding?

"Karena manusia tidak diciptakan untuk terbang."

Ya, kadang kita memang harus berusaha melebihi batas kemampuan kita agar tahu tidak ada yang mustahil jika sudah berusaha.

Wednesday, July 11, 2018

Tangkoko dan Penghuninya

Tangkoko hari itu, terik tapi lembap. Saya menapaki setapak yang beralaskan dedaunan kering. Sebagian besar sudah membusuk dan menjadi humus. 


Di antara sulur-sulur akar pohon besar saya menggosok kedua lengan saya yang terbakar sengat matahari di pantai. Beberapa jam yang lalu saya baru saja merayakan ulang tahun sahabat saya di Pantai Batu Angus. Beberapa saat kemudian saya sudah berada di hutan hujan tropis, kawasan Cagar Alam Tangkoko.

Hutan ini menarik minat saya. Sejak saya senang mendaki gunung, hutan ini ikut memanggil saya. Ada yang ingin saya lihat. Faunanya. Hewan-hewan yang katanya hanya bisa saya lihat di hutan ini saja. 
Mata saya bertemu lebih dulu dengan seekor burung berparuh besar yang bertengger di dahan. Rangkong, begitu dia dikenal. Tapi orang Manado menyebutnya, burung Taong. 

Ranngkong jantan

Rangkong memiliki tanduk yang besar di atas paruh, berwarna merah pada jantan dan kuning pada betina. Paruhnya berwarna kuning dan memiliki kantung biru pada tenggorokan. Burung ini seketika terbang tidak seberapa lama usai saya mengaguminya. Saya kembali berjalan. Sesekali tersandung akar pohon besar yang mencuat ke permukaan. 

Sekelompok macaca nigra sedang bergerombol malas di sebuah batang pohon. Sejujurnya saya sedikit ngeri melihat kawanan hewan ini. Saya ingat pertama kali melihat mereka di Taman Margasatwa Tandurusa. Saya masih berseragam putih abu-abu kala itu. Hewan-hewan ini terlihat sangat agresif. Menjerit dan berlarian di dalam kandang. Mungkin karena tidak bebas. Manusia saja akan senewen jika dikurung terus di dalam rumah. Apalagi hewan yang alaminya adalah hidup di alam bebas.

Yaki panta merah

Ciri khas dari yaki adalah warna seluruh tubuhnya hitam dan memiliki rambut berbentuk jambul di atas kepalanya, serta memiliki pantat berwarna merah muda. Sering disebut juga, yaki panta merah. 

Kawanan yaki tampak tak terpengaruh dengan kehadiran saya. Mungkin karena mereka sudah terbiasa melihat pengunjung datang ke hutan ini. Tidak pula bersikap agresif seperti yang ada ingatan saya. 

Beberapa hari lalu di laman Facebook saya dibagikan postingan dari sebuah akun yang mengunggah mayat yaki. Mayat yaki tersebut adalah hasil buruan dan akan dimasak sebagai hidangan. Sebagian dari masyarakat Sulawesi Utara memang masih menganggap yaki sebagai hewan buruan. 

Respon netizen beragam. Ada yang tidak mempermasalahkan tapi banyak yang mengutuk. Saya sendiri tidak habis heran bagaimana manusia bisa menganggap mamalia ini sebagai bahan konsumsi? 

Setahu saya sudah beberapa tahun ini dikampanyekan #SaveYaki di Kota Bitung karena spesies ini sudah terancam punah. Tapi masih ada saja manusia kanibal yang berpikir kalau hewan ini adalah makanan. 

Hari itu sebenarnya ada salah satu hewan yang ingin saya lihat. Sudah pernah saya lihat sebelumnya di Taman Margasatwa Tandurusa tapi rasanya tidak puas jika tidak dilihat lagi di Hutan Tangkoko yang menjadi rumah terakhirnya ini. Hewan nocturnal itu tidak kelihatan. Mungkin belum berjodoh dengan saya saat itu. 

Saya harus puas dengan yaki, rangkong, dan beberapa spesies burung cantik lainnya. Primata kecil bernama Tarsius enggan bertemu saya hari itu.

Selain fauna yang eksotis ada juga aneka flora yang cantik. Di kawasan hutan hujan tumbuh jambu hutan, mangga hutan sampai bombongan. Masuk lebih jauh saat lumut semakin banyak, bisa dijumpai edelweis dan berbagai spesies tumbuhan kantong semar. 

Cagar Alam Tangkoko yang akhirnya bisa saya kunjungi meliputi area seluas 3.196 hektar, di mana Cagar Alam Batuangus memiliki 635 hektar (terletak di antara Cagar Alam Tangkoko dan Desa Pinangunian). Lokasi Cagar Alam ini bisa dicapai sekitar satu jam dari Manado. 

Yang membuat saya sedih. Kenapa manusia lebih suka merusak paru-paru dunia ini? Bukan hanya pepohonannya tapi juga isi di dalamnya, hewan-hewannya sampai tumbuhannya. 

Tahun 1861, ketika seorang ahli antropologi bernama Alfred Russel Wallace berkunjung ke Tangkoko. Spesimen babi rusa dan maleo masih banyak dijumpai. Ketika itu, pasir hitam di pantai Tangkoko merupakan sarang dan tempat penetasan telur maleo. Akibat eksploitasi berlebih, babi rusa dan maleo kini hanya menjadi cerita pengantar tidur.

Hutan dan isinya memberi banyak sekali manfaat bagi kehidupan manusia. Hutan adalah rumah bersama. Selayaknya rumah harusnya dijaga bukannya dirusak. Karena tanpa hutan, mau jadi apa ekosistem kita?