Kehebohan berita tentang Awkarin masih rame sampe sekarang. Saya masih membaca banyak postingan tentang gadis yang bernama asli Karin Novilda ini di-share di media sosial. Makanya saya tergerak juga buat ikutan bikin postingan, bukan karena terkena euforia buat nge-judge Awkarin. Tapi karena saya ingin meluapkan kegelisahan yang saya rasakan dari sekian banyak postingan soal Awkarin.
Saya mengenal nama Awkarin ini saat muncul di linimasa Twitter. Waktu itu rame dengan postingan mensiversary Karin dengan pacarnya yang bernama Gaga.
Apa itu mensiversary? Selama ini saya tahunya aniversary. Yaitu perayaan tahunan, entah itu untuk ulang tahun pernikahan atau pacaran. Thanks to Awkarin saya jadi tahu kalo ada perayaan bulanan jadian pacaran. Sebutannya ya mensiversary. Ternyata istilah ini udah booming banget di kalangan anak muda. Kalo baru sebulan pacaran, bakal ada ucapan happy 1st mensiversary. Yha!
Yang membuat postingan mensiversay Awkarin viral banget, itu karena dia baru jadian dua bulan dengan pacarnya. Caption-nya sepanjang postingan cerpen yang biasa diikutsertakan dalam lomba, yang minimal 7-10 halaman A4 itu, loh. Isinya kurang lebih ungkapan rasa cinta Karin ke pacarnya. Ungkapan cinta yang dianggap melebihi ungkapan seseorang yang udah menikah.
Ya mungkin itu doa Karin sebenarnya. Walau lima bulan kemudian ternyata putus dan nangis bombay di vlog yang berdurasi 28 menit.
Dari situ saya jadi kepoin akun IG Awkarin. Reaksi saya sewaktu skrol-skrol isi IGnya,
"hmm, foto-fotonya bagus..."
"oh, pergaulannya kayak gini..."
"oh.. hmm... ah..."
"oh, pergaulannya kayak gini..."
"oh.. hmm... ah..."
Lalu sama seperti reaksi orang-orang pada umumnya, saya langsung nge-judge Karin sebagai abege alay nan labil. Saya ikut menghakimi kehidupan anak perempuan yang baru berumur belasan tahun itu, hanya berdasar dari postingannya di media sosial. Iya, karena emang paling mudah itu nge-judge orang. Belum lagi nge-judge orang yang nge-judge orang lain. Begitu seterusnya, udah kayak lingkaran setan gak ada habisnya.
Saya lupa untuk berkaca dari masa lalu saya yang gampang terbawa arus untuk menghakimi orang lain hanya karena mendengar gosip dari teman.
Ceritanya ada seorang perempuan, sebut saja namanya Mawar (bukan nama sebenarnya,- red). Mawar ini sering digosipkan sebagai perempuan tidak benar dan sombong. Katanya Mawar ini sering gonta-ganti pacar dan bisa dipake pria hidung belang. Saya yang mendengar tentu saja terbawa bahasan teman-teman saya untuk bergunjing tentang Mawar, padahal kenal dan bertatap muka saja belum pernah. Sampai suatu waktu, saya kenal dan akrab dengan Mawar ini. Ternyata Mawar tidak sama seperti yang digosipkan. Mawar adalah perempuan baik yang pintar bergaul. Mawar juga pintar main musik. Semua gosip miring tentang dia tentu saja tidak ada yang benar.
Dan kejadian dengan Awkarin ini serupa mengulang kejadian Mawar. Saya ikut terbawa untuk menghakimi, karena anak medsos sejati adalah mereka yang senang menghakimi tanpa mengenal pribadi orang tersebut.
Makanya saya tersadar, siapa sih saya ini sampe harus nge-judge Awkarin? Orangtuanya? Saudaranya? Temannya? Kenal aja kagak. Tahunya cuma dari media sosial doang.
Masa lalu saya juga gak flawless. Malah saya adalah cerminan Awkarin di masa lalu. Yang menganggap kelakuan masa muda saya itu swag dan gaul. Kelakuan semakin gila maka dianggap semakin keren. Kurang lebih sama dengan kelakuan Awkarin masa kini.
Bedanya dulu media sosial gak se-hype sekarang. Zaman SMA aja adanya cuma MiRC kemudian naik pangkat ke Friendster, itu juga dibukanya kalo ke warnet doang yang sangat jarang sekali dilakukan. Kalo dulu media sosial udah serame sekarang, pasti banyak yang akan ngeliat kelakuan saya yang tak jauh beda dengan Karin.
Kalo Karin yang dengan bebas posting foto dia ngerokok, gendongan sambil ciuman sama pacarnya, bahkan menggunakan makian setiap kali ngomong di vlog. Maka saya mungkin posting foto seksi, pangku-pangkuan sama cowok, grebek pacar di kamar hotel, berantem saat dugem, dsb. Bahkan pergaulan saya mungkin lebih parah dari Awkrin dalam pacaran.
Itu semua tentu saja tidak membuat saya bangga, cenderung banyak sesalnya kalo menilik ke belakang. Saya juga sangat malu untuk menuliskan ini semua sekarang. Tapi tentu saja ada alasan kenapa saya mau menulis secara gamblang seperti. Karena saya tidak ingin masyarakat menilai sesuatu hanya dari luaran saja. Saya mengerti keresahan para orangtua melihat follower Awkarin kebanyakan adalah anak sekolah. Yang begitu mengidolai kelakuan Karin di media sosial. Saya juga resah karena saya seorang ibu. Awkarin tentu saja bukan cerminan anak remaja yang diidam-idamkan semua orangtua.
Tidak ada orangtua di manapun yang pengin melihat anak perempuannya pamer kemesraan dengan pacarnya dengan bibir menempel satu sama lain setiap saat di media sosial. Tidak ada. Tidak juga untuk saya pernah menjadi Awkarin di masa lalu.
Tapi belum tentu Karin yang terlihat di akun Awkarin adalah pribadi perusak moral bangsa. Abege labil yang cuma cari sensasi. Karena kita tidak mengenal pribadi Karin secara langsung. Tidak, ini bukan untuk membela Karin Novilda. Ini semata karena orang-orang lebih cepat menghakimi ketimbang mencari jalan keluar. Khususnya orang-orang yang mengaku sebagai seorang ibu tapi lebih senang menilai keburukan anak orang lain. Yang menyalahkan generasi zaman sekarang padahal mereka terbentuk juga karena generasi sebelumnya.
Kita tidak pernah tahu ke depannya anak-anak kita akan seperti apa. Mari berharap mereka tumbuh sesuai dengan harapan kita. Tapi satu yang lebih baik, tidak menghakimi. Remaja seperti Karin belum melihat bagaimana efek yang dia lakukan saat ini, tapi ke depannya Karin pasti akan merasakan sesal dan tahu bahwa keluarga adalah tempat terbaik.
No comments:
Post a Comment