Indonesia adalah negeri yang kaya. Tidak hanya dari hasil bumi saja tapi juga kaya dengan seni dan budayanya. Keanekaragaman seni dan budaya di Indonesia menjadi ciri khas dari masing-masing suku yang ada di Indonesia. Salah satunya dari Suku Sangihe.
Sama seperti suku-suku lainnya di Indonesia, Suku Sangihe kaya akan seni dan budaya, mulai dari tari-tarian sampai ke upacara adatnya yang disebut Tulude.
APA ITU TULUDE?
Tulude merupakan hajatan tahunan masyarakat Nusa Utara (Kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro) di ujung utara provinsi Sulawesi Utara. Selama berabad-abad acara sakral dan religi ini dilakukan oleh masyarakat etnis Sangihe dan Talaud di mana saja mereka berada. Tradisi budaya ini juga secara perlahan dan pasti mulai diterima bukan saja sebagai milik masyarakat Nusa Utara, tetapi sebagai suatu tradisi budaya masyarakat Sulawesi Utara dan Indonesia pada umumnya. Sebab, di mana ada komunitas masyarakat etnis Sangihe-Talaud, pasti di sana akan ada hajatan Tulude.
Kata Tulude sendiri berasal dari kata "suhude" yang secara harafiah berarti tolak, atau mendorong. Secara luas dapat diartikan sebagai Orang Sangihe menolak untuk terus bergantung pada hal-hal di tahun yang lampau dan siap menyongsong kehidupan yang baru di tahun yang baru.
Tulude adalah kegiatan upacara pengucapan syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) atas berkat-berkat-Nya kepada umat manusia selama setahun yang lalu. Untuk pelaksanaannya, banyak kelompok masyarakat menyelenggarakannya tidak hanya sebagai sebuah bentuk upacara, tetapi dilaksanakan dalam bentuk ibadah-ibadah syukur, mulai dari tingkat RT, lingkungan, kelurahan, jemaat-jemaat, organisasi rukun dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
WAKTU PELAKSANAAN TULUDE
Pada masa awal beberapa abad lalu, pelaksanaan upacara adat Tulude dilaksanakan oleh para leluhur pada setiap tanggal 31 Desember, tanggal ini merupakan penghujung dari tahun yang akan berakhir, sehingga sangat pas untuk melaksanakan upacara Tulude.
Ketika agama Kristen dan Islam masuk ke wilayah Sangihe dan Talaud pada abad ke-19, upacara adat Tulude ini telah diisi dengan muatan-muatan penginjilan. Bahkan, hari pelaksanaannya yang biasanya pada tanggal 31 Desember, oleh kesepakatan adat, dialihkan ke tanggal 31 Januari tahun berikutnya. Hal ini dilakukan, karena tanggal 31 Desember merupakan saat yang paling sibuk bagi umat Kristen di Sangihe dan Talaud. Sebab, seminggu sebelumnya telah disibukkan dengan acara ibadah malam Natal, lalu tanggal 31 Desember disibukkan dengan ibadah akhir tahun dan persiapan menyambut tahun baru. Akibat kepadatan dan kesibukan acara ibadah ini dan untuk menjaga kekhusukan ibadah gerejawi agar tidak terganggu dengan upacara adat Tulude, maka dialihkankan tanggal pelaksanaannya menjadi tanggal 31 Januari.
Dalam upacara adat Tulude ini, ada berbagai konten adat yang dilakukan. Pertama, pembuatan kue adat Tamo di rumah seorang tokoh adat semalam sebelum hari pelaksanaan upacara.
Kemudian, persiapan-persiapan pasukan pengiring, penari tari Gunde, tari salo, tari kakalumpang, tari empat wayer, kelompok nyanyi masamper, penetapan tokoh adat pemotong kue adat tamo, penyiapan tokoh adat pembawa ucapan Tatahulending Banua, tokoh adat pembawa ucapan doa keselamatan, seorang tokoh pemimpin upacara yang disebut Mayore Labo, dan penyiapan kehadiran Tembonang u Banua (pemimpin negeri sesuai tingkatan pemerintahan pelaksanaan upacara seperti kepala desa, camat, bupati/walikota atau gubernur) bersama Wawu Boki (isteri pemimpin negeri) serta penyebaran undangan kepada seluruh anggota masyarakat untuk hadir dengan membawa makanan untuk acara Saliwangu Banua (pesta rakyat makan bersama).
[caption id="" align="alignnone" width="517"] Tari Salo[/caption]
[caption id="" align="alignnone" width="259"] Tari Kakalumpang[/caption]
[caption id="" align="alignnone" width="800"] Tari Gunde[/caption]
Waktu pelaksanaan upacara adat Tulude adalah sore hari hingga malam hari selama kurang-lebih 4 jam. Waktu 4 jam ini dihitung mulai dari acara penjemputan kue adat Tamo di rumah pembuatan lalu diarak keliling desa atau keliling kota untuk selanjutnya dibawa masuk ke arena upacara. Sebelum kue Tamo ini di bawah masuk ke arena upacara, Tembonang u Banua (Kepala Desa, Camat, Walikota/Bupati atau Gubernur wajib sudah berada di bangsal utama untuk menjemput kedatangan kue adat ini.
[caption id="" align="alignnone" width="448"] Tembonang u Banua dan Wawu Boki[/caption]
PERAN DAN MAKNA KUE TAMO DALAM UPACARA TULUDE
Upacara Tulude disimbolkan dengan kue Tamo, sehingga mulai dari arak-arakan sampai dengan pemotongan kue dirayakan secara meriah dan penuh penghormatan.
Kue Tamo adalah penganan yang terbuat dari beras ketan dicampur dengan gula merah dan santan lalu dibentuk kerucut seperti nasi tumpeng.
Di bagian puncak dari kue Tamo ini tertancap hiasan dari kertas berwarna-warni yang dibentuk menyerupai pohon. Pembuatan kue Tamo harus di kediaman seorang Mayore Labo, pemimpin adat (keturunan leluhur dari kalangan raja) yang nantinya berhak memotong kue tersebut.
[caption id="" align="alignnone" width="470"] Mayore Labo dan Kue Tamo[/caption]
Dalam prosesi Tulude, kue adat Tamo menunjukkan peran yang khusus, yakni:
1. Kue Tamo adalah lambang penghormatan tuan pesta kepada tamu.
2. Kue Tamo adalah perlambang bahwa pesta yang diadakan mengandung norma-norma kebangsaan (di puncak kue ada panji atau bendera yang dipancang).
3. Kue Tamo merupakan raja seluruh santapan yang dihidangkan dalam pesta tersebut.
Dilihat dari posisi sentralnya, kie Tamo ternyata memiliki makna mendalam. Adapun makna simbolik yang terkandung:
Pertama, sebagai bentuk pernyataan syukur atas perlindungan Tuhan Semesta Alam pada tahun yang sudah berlalu.
Kedua, permohonan berkat dan kesuksesan untuk tahun baru yang sedang dijalani.
Ketiga, permintaan agar dijauhkan dari penyakit, bencana dan perselisihan dalam masyarakat. Dan tak kalah penting, yakni saat pemotongan dan pembagian kue Tamo terungkap bentuk sakral atas nilai-nilai hidup: penghargaan atas kemanusiaan dan kebersamaan.
Wow manado, saya belum pernah ke sana nih. Sepertinya banyak budaya menarik=)
ReplyDeleteWah manado? Saya belum pernah ke snaa. Seperti nya banyak budaya menarik=)
ReplyDeleteBanyak Mbak, ada Pengucapan, Festival Bunga Tomohon, Mapalus. Kapan-kapan ke Manado yak. #AnaDutaManado
ReplyDeleteTulisan menarik, terimakasih atas partisipasinya dalam lomba blog Airpaz!
ReplyDeleteSemoga menang dapat tiket pesawat gratis dari Airpaz ya :)