Tangkoko hari itu, terik tapi lembap. Saya menapaki setapak yang beralaskan dedaunan kering. Sebagian besar sudah membusuk dan menjadi humus.
Di antara sulur-sulur akar pohon besar saya menggosok kedua lengan saya yang terbakar sengat matahari di pantai. Beberapa jam yang lalu saya baru saja merayakan ulang tahun sahabat saya di Pantai Batu Angus. Beberapa saat kemudian saya sudah berada di hutan hujan tropis, kawasan Cagar Alam Tangkoko.
Hutan ini menarik minat saya. Sejak saya senang mendaki gunung, hutan ini ikut memanggil saya. Ada yang ingin saya lihat. Faunanya. Hewan-hewan yang katanya hanya bisa saya lihat di hutan ini saja.
Mata saya bertemu lebih dulu dengan seekor burung berparuh besar yang bertengger di dahan. Rangkong, begitu dia dikenal. Tapi orang Manado menyebutnya, burung Taong.
Rangkong memiliki tanduk yang besar di atas paruh, berwarna merah pada jantan dan kuning pada betina. Paruhnya berwarna kuning dan memiliki kantung biru pada tenggorokan. Burung ini seketika terbang tidak seberapa lama usai saya mengaguminya. Saya kembali berjalan. Sesekali tersandung akar pohon besar yang mencuat ke permukaan.
Sekelompok macaca nigra sedang bergerombol malas di sebuah batang pohon. Sejujurnya saya sedikit ngeri melihat kawanan hewan ini. Saya ingat pertama kali melihat mereka di Taman Margasatwa Tandurusa. Saya masih berseragam putih abu-abu kala itu. Hewan-hewan ini terlihat sangat agresif. Menjerit dan berlarian di dalam kandang. Mungkin karena tidak bebas. Manusia saja akan senewen jika dikurung terus di dalam rumah. Apalagi hewan yang alaminya adalah hidup di alam bebas.
Yaki panta merah |
Ciri khas dari yaki adalah warna seluruh tubuhnya hitam dan memiliki rambut berbentuk jambul di atas kepalanya, serta memiliki pantat berwarna merah muda. Sering disebut juga, yaki panta merah.
Kawanan yaki tampak tak terpengaruh dengan kehadiran saya. Mungkin karena mereka sudah terbiasa melihat pengunjung datang ke hutan ini. Tidak pula bersikap agresif seperti yang ada ingatan saya.
Beberapa hari lalu di laman Facebook saya dibagikan postingan dari sebuah akun yang mengunggah mayat yaki. Mayat yaki tersebut adalah hasil buruan dan akan dimasak sebagai hidangan. Sebagian dari masyarakat Sulawesi Utara memang masih menganggap yaki sebagai hewan buruan.
Respon netizen beragam. Ada yang tidak mempermasalahkan tapi banyak yang mengutuk. Saya sendiri tidak habis heran bagaimana manusia bisa menganggap mamalia ini sebagai bahan konsumsi?
Setahu saya sudah beberapa tahun ini dikampanyekan #SaveYaki di Kota Bitung karena spesies ini sudah terancam punah. Tapi masih ada saja manusia kanibal yang berpikir kalau hewan ini adalah makanan.
Hari itu sebenarnya ada salah satu hewan yang ingin saya lihat. Sudah pernah saya lihat sebelumnya di Taman Margasatwa Tandurusa tapi rasanya tidak puas jika tidak dilihat lagi di Hutan Tangkoko yang menjadi rumah terakhirnya ini. Hewan nocturnal itu tidak kelihatan. Mungkin belum berjodoh dengan saya saat itu.
Saya harus puas dengan yaki, rangkong, dan beberapa spesies burung cantik lainnya. Primata kecil bernama Tarsius enggan bertemu saya hari itu.
Selain fauna yang eksotis ada juga aneka flora yang cantik. Di kawasan hutan hujan tumbuh jambu hutan, mangga hutan sampai bombongan. Masuk lebih jauh saat lumut semakin banyak, bisa dijumpai edelweis dan berbagai spesies tumbuhan kantong semar.
Cagar Alam Tangkoko yang akhirnya bisa saya kunjungi meliputi area seluas 3.196 hektar, di mana Cagar Alam Batuangus memiliki 635 hektar (terletak di antara Cagar Alam Tangkoko dan Desa Pinangunian). Lokasi Cagar Alam ini bisa dicapai sekitar satu jam dari Manado.
Yang membuat saya sedih. Kenapa manusia lebih suka merusak paru-paru dunia ini? Bukan hanya pepohonannya tapi juga isi di dalamnya, hewan-hewannya sampai tumbuhannya.
Tahun 1861, ketika seorang ahli antropologi bernama Alfred Russel Wallace berkunjung ke Tangkoko. Spesimen babi rusa dan maleo masih banyak dijumpai. Ketika itu, pasir hitam di pantai Tangkoko merupakan sarang dan tempat penetasan telur maleo. Akibat eksploitasi berlebih, babi rusa dan maleo kini hanya menjadi cerita pengantar tidur.
Hutan dan isinya memberi banyak sekali manfaat bagi kehidupan manusia. Hutan adalah rumah bersama. Selayaknya rumah harusnya dijaga bukannya dirusak. Karena tanpa hutan, mau jadi apa ekosistem kita?
So let's start to care and love mother nature..
ReplyDeletePadahal kalau hanya untuk hidup, hutan itu sudah lebih dari cukup lho buat manusia..
ReplyDeletewah enak ya bisa berjalan di tengah kerimbunan pepohonan
ReplyDeleteSemuanya krn alasan keserakahan ya mba. Ga mau mikirin gimana nasib makhluk lainnya, termasuk anak cucunya sendiri di masa depan :( . Yg ptg buat dia, hanya keuntungan utk dirinya sendiri
ReplyDelete. Sedih.. .