Thursday, June 21, 2018

Sepakbola, Secangkir Kopi, dan Kacang Goreng



Apakah hanya gue yang merasa kalau Piala Dunia kali ini tidak terasa hype-nya? Official song-nya saja gue baru tahu beberapa hari jelang perhelatan pertandingan sepakbola terbesar ini. Itu pun hanya tahu berkat Google karena kepo. Tapi dibilang nggak hype kalau diperhatikan di linimasa media sosial masih ramai. Bahasan Piala Dunia selalu diupdate saat pertandingan sedang live. Mungkin memang hanya perasaan gue saja. 

Pada sebuah ingatan di masa kanak-kanak, papa kerap membangunkan gue di tengah malam untuk ikut menonton pertandingan sepakbola Serie A. Tv kami masih tv tabung yang baru saja diganti menjadi tv berwarna. Siaran tv swasta yang muncul baru tv berlogo rajawali dan tv surya. Dua siaran baru ini ibarat oase setelah tv nasional yang rasanya sangat datar dan tidak menarik bagi anak seusia gue kala itu. 

Classic105.com

Papa akan membangunkan gue ketika ada pertandingan yang dimainkan oleh duo Van Basten dan Ruud Gullit. Di depan tv sudah dialaskan tikar. Kedua kakak laki-laki gue sudah lebih dulu duduk di situ. Di antara keduanya ada satu mug besar dan setoples kacang goreng. Gue biasanya menikmati kopi dengan menaburkan kacang di atasnya. Nikmat. Manis pahit dan juga garing. Setelah habis satu gelas, gue biasanya akan terlelap. Masa bodo dengan pertandingan yang entah baru dimulai atau sudah akan usai. 

Kebiasaan papa membangunkan anak perempuan satu-satunya terus berlanjut sampai pertandingan Piala Dunia dihelat di Prancis. Maskot turnamen saat itu adalah seekor ayam jantan bertubuh biru yang diberi nama Footix. Pada tahun itu dunia seolah dilanda demam Piala Dunia. Gue juga. Kebiasaan papa membangunkan gue untuk menonton sepakbola akhirnya berbuah hasil. Gue baru benar-benar khusyuk tanpa perlu dibangunkan lagi ketika perhelatan sudah memasuki babak perempat final. 

Jadwal hari itu, Belanda berhadapan dengan tim Tango. Belanda lolos ke babak perempat final setelah menyingkirkan Yugoslavia sementara Argentina menyingkirkan Inggris. Pertemuan kembali kedua tim ini setelah 20 tahun menjadi perseteruan klasik antara tim Eropa dan Amerika Latin. Pertandingan dimenangkan oleh Oranjes dengan skor akhir 2-1. 

Lolos dari Argentina, di babak semi final Belanda harus berhadapan dengan tim Samba. Brazil sudah lebih unggul 1-0 karena gol dari Ronaldo. Namun bisa disamakan kedudukan oleh Kluivert menjelang akhir babak kedua. Sayang Belanda harus tersingkir setelah AET dengan skor 4-2. Kekalahan dari tim Brazil tersebut membuat gue menangis. Menangis sesegukan, seolah gue bisa merasakan kepedihan para pemain Belanda yang gagal untuk kesekian kalinya menggapai juara di Piala Dunia. Apalagi mereka kembali kalah 1-2 melawan Kroasia yang tampil sebagai kuda hitam masa itu. Gue ingat sekali, Davor Suker menjadi top scorer dengan 6 gol. 

Usai gegap gempita Piala Dunia 1998 membuat gue adiktif pada sepakbola. Menonton pertandingan Serie A dan Premiere League adalah keharusan. Masa di mana Juventus dan Arsenal adalah klub unggulan dan tabloid Bola adalah bacaan wajib. Keadiktifan ini membawa gue pada fase belajar main bola sendiri biar bisa juggling dan menendang ala tendangan pisangnya David Beckham. Bikin gue jadi tahu kalau ada nama klub bola kece bernama Jubilo Iwata. Dan bikin gue iri ke presenter bola cewek yang hanya bermodal pintar bicara dan tampang tapi nol besar soal pengetahuan sepakbola. 

Laun, ketika gue mulai sibuk kuliah. Kegiatan menonton pertandingan sepakbola ikut memudar. Tidak ada lagi kehebohan mengikuti Serie A dan memuja Filippo Inzaghi sebagai laki-laki tertampan. Tidak ada lagi kegiatan duduk santai di ruang tamu sambil membaca berita terkini tentang dunia sepakbola. Tidak lagi menikmati segelas kopi dicampur kacang. Terlalu sibuk dengan masa muda yang wild and young and free. Namun sesekali ketika Piala Eropa atau Piala Dunia tayang masih turut berhura atas gempitanya. 

Sekarang, entah karena Belanda tidak menjadi bagian dari selebrasi pertandingan sepakbola yang selalu dinanti setiap empat tahun ini, ataukah karena euforianya memang berbeda ketika tidak ada lagi kebersamaan nobar bersama orang-orang yang dikenal? Entah. 

Tahun ini gue hanya menikmati pertandingan dan update-nya lewat media sosial. Apalagi tidak ada suami yang menemani untuk nonton bareng karena dia sedang di luar kota. 

Mungkin karena masa semakin berjalan ke depan dan selera ikut berubah. Tapi bucket list yang gue rapal sejak Piala Dunia 1998 tetap gue imani, suatu waktu nanti ketika Piala Dunia dihelat di suatu negara, gue akan duduk di antara bangku penonton dan larut dalam euforianya. Semoga~




2 comments:

  1. Mungkin dirimu sedang berad dalam situasi tidak sering bersama-sama atau bertemu penggila sepak bola.. hehehe

    ReplyDelete
  2. Salam Mbak Bro

    hahaha, tenang-tenang Anda ga sendiri.
    Setuju banget sama poin di paragraf pertama
    Permainannya aja ga terprediksi, tim-tim besar ga seperti seharusnya.

    Mauliate
    Terimakasih

    ReplyDelete