Wednesday, March 20, 2019

Orphan Food yang Tidak Terkover JKN


Pada suatu hari tertentu saat dua krucil berantem gue akan memisahkan mereka berdua. Tapi namanya anak berantem pasti nggak puas, mereka akan kembali berdekatan hanya untuk berantem lagi. Apalagi anak gue yang kecil yang nggak mau kalah argumen. Sama kayak mamanya. Hehe. Akhirnya gue akan menjewer kuping keduanya biar bisa diam. Yamaap, sudah gue kasih warning sampai 3x tapi tidak direspon jadinya harus dijewer biar dengar.

Biar tidak diprotes, gue jewer sebatas pegang di kuping aja tanpa membuat rasa sakit.  

Kadang hanya karena hal kecil seperti ini gue bisa emosi ke anak. Jadi ikutan marah-marah padahal masalahnya bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik. Kadang ketika mood gue lagi baik, mereka berdua mau baikan hanya dengan bicara saja nggak pakai jewer. Maaf, memang sebagai ortu gue masih banyak kurangnya. Jadi saat gue nggak bisa ajak mereka ngobrol, malah ngejewer. Ya begitulah gue, dengan dua anak sehat dan normal yang Tuhan titipin ke gue masih nggak bisa terkontrol emosi gue.

Lalu, pada suatu kesempatan gue harus hadir di acara bertema kesehatan dalam rangka Hari Penyakit Langka Sedunia. Bekerja sama antara Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia dengan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Human Genetic Research Cluster IMERI FK Universitas Indonesia. Sudah ramai saat gue datang. Di salah satu sudut ruangan, seorang ibu muda sedang mengatur letak anaknya yang ada di dalam stroller. Ibu muda itu memakai masker, mungkin untuk alasan higienis. Dia memperlakukan anaknya dengan lembut dan telaten. Dalam sekilas saja gue tahu ibu muda itu salah satu bintang tamu yang diundang di acara hari itu. Gue tahu karena memang cukup update soal dunia selebritas. Dulu ibu muda ini sangat terkenal dan sering banget wara wiri di layar kaca mau pun layar lebar. Lalu pemberitaan tentang ibu muda ini berangsur meredup seiring dirinya menikah dan kini mempunyai empat orang anak.

joanna alexandra

dok: refika z. artari
Gue yang menyaksikan itu hanya bisa terpekur. Sedikit malu kalau ingat perlakuan gue ke anak sendiri. Di samping gue ada dua teman blogger lainnya yang ikut terkesima melihat pemandangan yang ada di depan mata kami. Tentu saja kami salut karena ibu muda itu bisa memperlihatkan sisi keibuannya yang kuat dan tangguh. Tidak semua bisa dipercayakan menjadi orang tua yang baik dan sayang kepada anaknya. Tidak sedikit yang menyerah ketika diberi anak yang sehat tapi disia-siakan. Sedangkan ibu muda ini diberikan kesempatan merawat anak dengan penyakit langka, semua dilakukannya dengan cinta. Karena jika gue yang berada di posisi itu pasti tidak kuat. Pasti.

Anak kedua gue pernah 2x diopname di RS selama seminggu akibat flek di paru-parunya.  Itu saja sudah membuat gue merasa bersalah dan menjadi ibu paling tidak berguna di dunia. Merawat anak sakit selama seminggu hampir membuat gue menyerah. Karena semua gue urusin sendiri tanpa ada bantuan orang lain. Mengurus satu anak sehat dan satunya lagi sakit itu tidak mudah. Berat. Menguras emosi dan energi.

Kebayang nggak perjuangan si ibu muda? Dia memiliki empat anak dan anak bungsunya didiagnosis memiliki penyakit langka.

Hidup terkadang mengajarkan kita untuk banyak banyak bersyukur dan tidak membanding bandingkan. Karena setiap manusia punya masalah dengan porsi masing-masing.

Selain ibu muda itu, hadir pula para orang tua lainnya. Datang membawa buah hati yang mereka kasihi yang juga memiliki penyakit langka. Datang dari berbagai daerah dengan berbagai latar belakang.  

Saat ini kalau kalian belum tahu, ada sekitar 6000-8000 jenis penyakit langka yang telah dikenali dan dihadapi oleh 350 juta orang di dunia. Sebanyak 75% dari pasien langka adalah anak-anak. Bahkan 30% pasien merupakan anak-anak di bawah usia 5 tahun dan hanya sekitar 5% pasien yang mendapatkan penanganan yang memadai.

5% itu sedikit sekali. Mereka yang datang membawa anak mereka hari itu termasuk di 5% itu. Karena sudah bisa mendapatkan penanganan. Sudah bisa tahu anak mereka sebenarnya menderita penyakit apa lewat screening hasil lab.

80% penyakit langka disebabkan karena kelainan genetik. Itu bisa diketahui jika dilakukan newborn screening. Sedangkan di Indonesia bayi bayi baru lahir banyak yang tidak dilakukan screening. Sehingga kebanyakan baru bisa tahu anaknya memiliki penyakit ketika semua sudah terlambat.

Ya di Indonesia saja dokter anak ahli yang concern dengan masalah penyakit langka ini baru 22 orang. Tersebar di seluruh Indonesia, yang sayangnya hanya ada dari Sumatera sampai Makassar. Indonesia bagian Timur semisal Papua belum ada. Mereka pun harus tetap berkoordinasi di Jakarta untuk penanganan kasus yang serius.  

Salah satu ibu yang datang membawa anaknya bercerita kalau anaknya kebetulan lahir di Jepang. Dengan teknologi dan perawatan di RS Tokyo saat itu, dalam 12 hari usai kelahiran sudah diagnosis menderita  phenylketonuria PKU. Kondisi di mana tubuh tidak bisa mengurai asam amino fenilalanin, yaitu salah satu bahan baku untuk pembentukan protein tubuh. Karena sudah ketahuan sejak awal sehingga sedikitnya memudahkan orang tua untuk bisa mengurus anaknya. Tapi tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena anak mereka harus diet protein dengan mengonsumsi makanan-makanan impor.

ibu dengan anak yang menderita PKU
Anak tersebut lahir dan tumbuh dengan baik, bahkan berprestasi. Pemenuhan nutrisi pada masa krusial tumbuh kembangnya, yaitu 1000 HPK, membantu anak tumbuh dan berkembang dengan baik dan terhindar dari kondisi malnutrisi , termasuk stunting.

Pemenuhan nutrisi sesuai kebutuhan adalah fondasi awal untuk pertumbuhan yang baik. Baik bagi anak yang sehat mau pun yang memiliki penyakit langka sekali pun.

“Sama seperti anak lainnya, anak dengan penyakit langka juga membutuhkan pemenuhan nutrisi sesuai kebutuhan masing-masing. Walau memiliki penyakit langka, bukan berarti kondisi kognitif anak dinomorduakan,” kata DR. Dr. Damayanti Rusli Syarif, SpA(K).  

Kebutuhan orphan food untuk pemenuhan nutrisi anak-anak berpenyakit langka untuk sehari-harinya sayangnya sampai saat ini belum ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena tidak tercatat dalam Formularium Nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Padahal spesifikasi, peruntukkan, dan distribusinya sudah diatur dalam peraturan BPOM.

Dari beberapa yang hadir, ada yang bapaknya hanya bekerja sebagai driver ojol. Sedangkan pemenuhan kebutuhan makanan anaknya yang menderita MPS tingkat 2 pengeluaran biaya setahun bisa mencapai milyaran rupiah.BPJS tidak bisa menanggung itu semua. Kebayang bagaimana perjuangan dari orang tua anak tersebut? Mereka ingin anaknya walau sakit langka sekali pun, bisa tetap tumbuh dengan sehat. Tidak peduli harus jungkir balik cari biaya.

Pemerintah ngapain aja sih?

Rasanya pengin ngomel begitu mendengar perjuangan para dokter anak agar orphan food dimasukkan dalam JKN sudah sejak bertahun-tahun lalu tapi tidak ada respon positif dari pemerintah.  
Padahal harapan semua pihak, termasuk dokter Damayanti, anak-anak yang berpenyakit langka diharapkan bisa hidup bukan sekadar hidup saja tapi ada manfaatnya bukan untuk orang lain tapi bagi dirinya sendiri.
         


No comments:

Post a Comment