Wednesday, January 16, 2019

Pembunuh Itu Bernama Serangan Jantung


Pukul enam pagi di Jalan Belakang Hasikin, di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Selepas sarapan pisang goreng dan menghabiskan segelas teh manis yang dibuat oleh istrinya, seorang lelaki tua duduk di teras rumah. Sinar matahari jatuh malu-malu di undakan, angin lewat dengan sepoi, sungguh sayang jika tidak dinikmati, pikirnya. Dia baru akan termenung menikmati akhir pekan di teras ketika dering telepon di ruang tamu berbunyi. Cucu perempuannya yang baru berusia 9 tahun yang mengangkat.

“Dari Om Hembo mau ngobrol sama Opa,” cucunya berteriak. Lelaki tua itu masuk. Gagang telepon berpindah. Di seberang terdengar suara anak laki-laki bungsunya yang sudah bertahun-tahun tinggal di ibukota. Mereka bercerita lama dan panjang. Hampir satu jam. Setelahnya lelaki tua itu kembali ke teras. Dia ingin duduk di sana sampai pukul sembilan.

DUK.

Bunyi berdebam terdengar dari teras.

Sang istri yang sedang ada di kamar di samping teras langsung keluar. Seketika menjerit. Sang istri memanggil-manggil anak dan menantunya. Cucu-cucunya ikut serta. Termasuk cucu perempuan yang tadi mengangkat telepon.

Lelaki tua itu tergeletak di tanah. Tidak sadarkan diri.

Semua terjadi begitu cepat. Secepat lelaki tua itu dibawa ke rumah sakit tapi ternyata sudah terlambat. Belum pukul sembilan dan dia sudah pergi untuk selamanya.

Hal terakhir yang diingat cucu perempuannya setelah itu adalah, berjalan kaki ke sana kemari untuk mengabarkan ke kerabat dan keluarga kalau opa kesayangannya sudah meninggal dunia. Serangan jantung.    

Hari berganti. Minggu berlari. Tahun yang berjalan membuat cucu perempuan menjadi seorang istri dan seorang ibu yang sudah merantau ke ibukota. Meninggalkan rumah dan keluarga yang sudah bersama dengannya setelah 24 tahun lamanya. Baru satu tahun dia di sana. Anak pertamanya baru berusia satu tahun sekian bulan.

Seseorang datang ke rumahnya pagi pagi sekali. Keadaan masih gelap namun orang tersebut sudah memanggil-manggil namanya belasan kali.

Perempuan itu keluar. Dia membukakan pintu pagar dan mengajak seseorang itu masuk. Yang datang adalah keponakan dari suami tantenya.

“Kenapa telepon kamu tidak aktif?” tanyanya.

“Ganti nomor,” jawab perempuan itu.

“Nanti tante kamu mau bicara.” Sedetik kemudian ponsel laki-laki itu berbunyi. Dia langsung memberikan kepada si perempuan.

“Halo.”

“Iya.”

“Tante ada kabar duka. Kamu harap tenang ya.”

“Kenapa Tante?” Perasaan si perempuan mulai tak keruan.

“Papa kamu meninggal tadi malam. Serangan jantung. Bla bla bla...”

Si perempuan sudah tidak bisa mendengar dengan jelas lagi ucapan sang tante. Sesuatu yang keras baru saja menghajar dadanya. Hatinya remuk.

Belasan tahun lalu opanya pergi akibat serangan jantung, kini papanya. Semua akibat serangan jantung. Penyakit tidak menular tapi menjadi salah satu penyakit pembunuh terbesar di dunia.  


Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia. Menurut WHO, prosentasenya sekitar 73%. PTM juga berpotensi menyebabkan kesulitan keuangan karena bisa membuat keluarga atau pasien sendiri mengalami kebangkrutan. Ini berdasar hasil penelitian dari ASEAN Cost in Oncology (ACTION) yang dilakukan pada tahun 2014-2015.

Penyakit-penyakit kritis seperti kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, atau penyakit jantung memang harus mendapat perhatian lebih. Karena yang mengalami krisis bukan hanya pasien yang mengidap penyakit tersebut tapi juga keluarga. Karena selain menguras emosi bisa juga menguras kantong.

Prudential Indonesia melihat itu, tanggal 14 Januari kemarin mereka meluncurkan PRUCritical Benefit 88. Menurut Pak Jens Reisch selaku Presdir Prudential Indonesia, melalui PRUCritical Benefit 88, Prudential berharap dapat memberikan ketenangan pikiran pada nasabah dan keluarganya.


PRUCritical Benefit 88 mengusung slogan “Proteksi Terjamin, Uang Pasti Kembali” mempunyai beragam manfaat

Proteksi Terjamin

·         Perlindungan komprehensif untuk meninggal atau 60 kondisi kritis tahap akhir, tanpa periode masa bertahan hidup.
·         10% Uang Pertanggungan (UP) untuk angioplasty tanpa mengurangi UP PRUCritical Benefit 88 dengan maksimal Rp200.000.000
·         200% tambahan UP akan dibayarkan jika tertanggung meninggal karena kecelakaan sebelum usia 70 tahun.
·         Perlindungan sampai dengan usia 88 tahun dengan jangka waktu pembayaran premi yang dapat dipilih yakni selam 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun atau premi tunggal.

Uang Pasti Kembali

·         100% UP akan dibayarkan bila tertanggung utama masih hidup dan polis masih aktif sampai usia 88 tahun; atau
·         Jaminan manfaat 100% pengembalian premi pada tahun polis ke-20. Jika nasabah memilih pengembalian premi, maka polis berakhir.


Kemunculan PRUCritical Benefit 88 dibarengi dengan kehadiran komitmen brand baru dari Prudential di tahun 2019 yakni, Listening. Understanding. Delivering. Serta fokus pada DO; we do tech, we do health, we do wealth, we do good.

Di zaman yang semakin berkembang dan serba instan ini rasanya salah sekali jika masih memandang asuransi dengan sebelah mata. Asuransi kesehatan justru harus menjadi dimiliki oleh setiap keluarga demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi kita tahu kalau PTM banyak yang bisa membunuh dengan tiba-tiba, misalnya opa dan papa si perempuan dalam cerita di atas. Beruntung keluarga si perempuan tidak harus menanggung beban dan mengalami kebangkrutan karena kejadiannya begitu cepat. Tidak ada penanganan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bagaimana jika keluarga si perempuan harus menanggung biaya rumah sakit untuk pasien? Pasti biayanya tidak sedikit. Jika tidak ada asuransi atau pegangan, mau dibayar pakai apa?

Bagi yang masih muda dan sehat, nggak ada salahnya mulai memikirkan untuk membuka asuransi sejak dini. Apalagi kalau ada yang ngajak jalanin bareng ke pelaminan, tanya dulu, “Kamu sudah punya asuransi belum?” biar tahu kalau calonnya itu nggak egois dan peduli sama keluarga.

Umur tidak pernah ada yang tahu kapan berakhirnya, tapi kita bisa mempersiapkan segala sesuatu untuk melindungi diri dan keluarga sejak dini.

Sebagai disclaimer, kisah di atas bukan fiktif. Yang meninggal akibat serangan jantung itu opa dan papa gue.


     

  

  

No comments:

Post a Comment