Pukul enam pagi di Jalan Belakang
Hasikin, di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Selepas sarapan pisang goreng dan
menghabiskan segelas teh manis yang dibuat oleh istrinya, seorang lelaki tua
duduk di teras rumah. Sinar matahari jatuh malu-malu di undakan, angin lewat
dengan sepoi, sungguh sayang jika tidak dinikmati, pikirnya. Dia baru akan
termenung menikmati akhir pekan di teras ketika dering telepon di ruang tamu
berbunyi. Cucu perempuannya yang baru berusia 9 tahun yang mengangkat.
“Dari Om Hembo mau ngobrol sama Opa,”
cucunya berteriak. Lelaki tua itu masuk. Gagang telepon berpindah. Di seberang
terdengar suara anak laki-laki bungsunya yang sudah bertahun-tahun tinggal di
ibukota. Mereka bercerita lama dan panjang. Hampir satu jam. Setelahnya lelaki
tua itu kembali ke teras. Dia ingin duduk di sana sampai pukul sembilan.
DUK.
Bunyi berdebam terdengar dari
teras.
Sang istri yang sedang ada di
kamar di samping teras langsung keluar. Seketika menjerit. Sang istri
memanggil-manggil anak dan menantunya. Cucu-cucunya ikut serta. Termasuk cucu
perempuan yang tadi mengangkat telepon.
Lelaki tua itu tergeletak di
tanah. Tidak sadarkan diri.
Semua terjadi begitu cepat.
Secepat lelaki tua itu dibawa ke rumah sakit tapi ternyata sudah terlambat. Belum
pukul sembilan dan dia sudah pergi untuk selamanya.
Hal terakhir yang diingat cucu
perempuannya setelah itu adalah, berjalan kaki ke sana kemari untuk mengabarkan
ke kerabat dan keluarga kalau opa kesayangannya sudah meninggal dunia. Serangan
jantung.
Hari berganti. Minggu berlari. Tahun
yang berjalan membuat cucu perempuan menjadi seorang istri dan seorang ibu yang
sudah merantau ke ibukota. Meninggalkan rumah dan keluarga yang sudah bersama
dengannya setelah 24 tahun lamanya. Baru satu tahun dia di sana. Anak pertamanya
baru berusia satu tahun sekian bulan.
Seseorang datang ke rumahnya pagi
pagi sekali. Keadaan masih gelap namun orang tersebut sudah memanggil-manggil
namanya belasan kali.
Perempuan itu keluar. Dia
membukakan pintu pagar dan mengajak seseorang itu masuk. Yang datang adalah keponakan
dari suami tantenya.
“Kenapa telepon kamu tidak aktif?”
tanyanya.
“Ganti nomor,” jawab perempuan
itu.
“Nanti tante kamu mau bicara.”
Sedetik kemudian ponsel laki-laki itu berbunyi. Dia langsung memberikan kepada si
perempuan.
“Halo.”
“Iya.”
“Tante ada kabar duka. Kamu harap tenang ya.”
“Kenapa Tante?” Perasaan si
perempuan mulai tak keruan.
“Papa kamu meninggal tadi malam.
Serangan jantung. Bla bla bla...”
Si perempuan sudah tidak bisa
mendengar dengan jelas lagi ucapan sang tante. Sesuatu yang keras baru saja
menghajar dadanya. Hatinya remuk.
Belasan tahun lalu opanya pergi
akibat serangan jantung, kini papanya. Semua akibat serangan jantung. Penyakit tidak
menular tapi menjadi salah satu penyakit pembunuh terbesar di dunia.
Penyakit Tidak Menular (PTM)
diperkirakan menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia. Menurut WHO,
prosentasenya sekitar 73%. PTM juga berpotensi menyebabkan kesulitan keuangan
karena bisa membuat keluarga atau pasien sendiri mengalami kebangkrutan. Ini
berdasar hasil penelitian dari ASEAN Cost in Oncology (ACTION) yang dilakukan
pada tahun 2014-2015.
Penyakit-penyakit kritis seperti
kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, atau penyakit jantung memang harus
mendapat perhatian lebih. Karena yang mengalami krisis bukan hanya pasien yang
mengidap penyakit tersebut tapi juga keluarga. Karena selain menguras emosi
bisa juga menguras kantong.
Prudential Indonesia melihat itu,
tanggal 14 Januari kemarin mereka meluncurkan PRUCritical Benefit 88. Menurut
Pak Jens Reisch selaku Presdir Prudential Indonesia, melalui PRUCritical
Benefit 88, Prudential berharap dapat memberikan ketenangan pikiran pada
nasabah dan keluarganya.
PRUCritical Benefit 88 mengusung
slogan “Proteksi Terjamin, Uang Pasti Kembali” mempunyai beragam manfaat
Proteksi Terjamin
· Perlindungan komprehensif untuk meninggal atau
60 kondisi kritis tahap akhir, tanpa periode masa bertahan hidup.
·
10% Uang Pertanggungan (UP) untuk
angioplasty tanpa mengurangi UP PRUCritical Benefit 88 dengan maksimal
Rp200.000.000
·
200% tambahan UP akan dibayarkan jika
tertanggung meninggal karena kecelakaan sebelum usia 70 tahun.
·
Perlindungan sampai dengan usia 88 tahun dengan
jangka waktu pembayaran premi yang dapat dipilih yakni selam 5 tahun, 10 tahun,
15 tahun atau premi tunggal.
Uang Pasti Kembali
·
100% UP akan dibayarkan bila tertanggung
utama masih hidup dan polis masih aktif sampai usia 88 tahun; atau
·
Jaminan manfaat 100% pengembalian premi pada tahun
polis ke-20. Jika nasabah memilih pengembalian premi, maka polis berakhir.
Kemunculan PRUCritical Benefit 88
dibarengi dengan kehadiran komitmen brand baru dari Prudential di tahun 2019
yakni, Listening. Understanding. Delivering. Serta fokus pada DO;
we do tech, we do health, we do wealth,
we do good.
Di zaman yang semakin berkembang
dan serba instan ini rasanya salah sekali jika masih memandang asuransi dengan
sebelah mata. Asuransi kesehatan justru harus menjadi dimiliki oleh setiap
keluarga demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi kita tahu kalau PTM
banyak yang bisa membunuh dengan tiba-tiba, misalnya opa dan papa si perempuan
dalam cerita di atas. Beruntung keluarga si perempuan tidak harus menanggung
beban dan mengalami kebangkrutan karena kejadiannya begitu cepat. Tidak ada
penanganan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bagaimana jika keluarga
si perempuan harus menanggung biaya rumah sakit untuk pasien? Pasti biayanya
tidak sedikit. Jika tidak ada asuransi atau pegangan, mau dibayar pakai apa?
Bagi yang masih muda dan sehat,
nggak ada salahnya mulai memikirkan untuk membuka asuransi sejak dini. Apalagi
kalau ada yang ngajak jalanin bareng ke pelaminan, tanya dulu, “Kamu sudah
punya asuransi belum?” biar tahu kalau calonnya itu nggak egois dan peduli sama
keluarga.
Umur tidak pernah ada yang tahu
kapan berakhirnya, tapi kita bisa mempersiapkan segala sesuatu untuk melindungi
diri dan keluarga sejak dini.
Sebagai disclaimer, kisah di atas bukan fiktif. Yang meninggal akibat
serangan jantung itu opa dan papa gue.
No comments:
Post a Comment