Hal yang membingungkan
saya adalah ramainya orang datang ke salah satu bookfair terbesar di Indonesia setiap
tahunnya selama 24 jam tapi menurut survey lembaga dunia, negara kita justru
rangking ke-62 dari 70 negara dalam peringkat literasi.
Seburuk itu kah minat
baca penduduk kita?
Kalau berkaca dari diri
sendiri mungkin iya sih. Sejak kecil saya terbiasa membaca. Almarhum papa saya
setiap pulang kerja selalu membawakan saya majalah atau buku-buku cerita anak.
Saya bahkan memiliki banyak sekali koleksi komik, buku cerita, majalah,
tabloid, pada masanya dulu. Sebenarnya sampai sekarang pun masih sering membeli
buku walau sudah tidak seberapa. Minat membaca saya menurun drastis sejak saya
disibukkan dengan kegiatan ngeblog dan menghabiskan cukup banyak waktu di
medsos. Ini sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan, karena membaca harusnya menjadi
kebiasaan bukan paksaan.
Agak miris kalau tahu
generasi sekarang lebih banyak menghabiskan waktu dengan membuka medsos dan
main game saja tapi tidak membiasakan diri untuk membaca.
Membaca sendiri
memiliki banyak sekali manfaat selain memperbanyak kosakata dan pengetahuan.
Dengan membaca kita bisa mendapat banyak sekali inspirasi. Kita dilatih agar
bisa fokus, mampu menganalisa sampai meningkatkan kualitas memori. Hal yang
tidak akan didapat jika kita kurang membaca.
Menurut saya, salah
satu langkah baik yang diambil pemerintah adalah dengan mencanangkan program
Gerakan Literasi Sekolah pada tahun 2015. Wujud GLS adalah membaca selain buku
pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Dengan GLS diharapkan
siswa terbiasa membaca dan dapat mengambil nilai-nilai dari buku yang dibaca.
Saya juga menerapkan ini pada kedua anak saya sebelum mereka tidur. Satu cerita
sehari dan meminta mereka menceritakan kembali dengan gaya tutur mereka
masing-masing.
Karena penguatan budaya
dan kebiasaan literasi yang diterapkan di sekolah bukan hanya menjadi tanggung
jawab dari kepala sekolah dan guru, melainkan juga menjadi tanggung jawab
seluruh elemen publik sebagai pengasuh anak dalam ruang komunal. Terutama
dimulai dari keluarga masing-masing. Saya percaya, anak bertumbuh dan
berkembang dengan baik itu asalnya dari keluarga sendiri. Dengan mengajarkan
dan membiasakan hal-hal baik dari rumah, itu akan tertanam kepada mereka sampai
besar.
Untuk mendorong tumbuh
kembang kemandirian dan inovasi warga sekolah, khususnya literasi, Kemendikbud
mengadakan Festival Literasi Sekolah. Agenda tahunan ini sudah memasuki tahun
ketiga. FLS 2019 resmi dibuka oleh Mendikbud, Muhadjir Effendy, di Plaza Insan
Berprestasi Kemendikbud hari Jumat kemarin. Acara ini berlangsung dari tanggal
26 Juli-29 Juli 2019.
Festival Literasi
Sekolah 2019 adalah upaya dari Kemendikbud untuk meningkatkan budaya literasi,
mulai dari membaca, menulis literasi terhadap IT, serta memotivasi agar gerakan
literasi di sekolah dapat berjalan dengam baik dan benar.
perpustakaan mini buatan siswa asal Padang |
FLS ini melibatkan 704
siswa dari jenjang SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB se-Indonesia yang memiliki bakat
di bidang literasi. Iya, ada anak-anak berkebutuhan khusus juga yang ikut hadir
dan memamerkan karya mereka.
komik buatan siswa SLB dari Jakarta |
Acara FLS ini bukan
hanya diadakan di Jakarta saja tapi juga di Tangerang dan Bogor dengan berbagai
macam rangkaian lomba dan acara. Ada juga diskusi, pelatihan, peluncuran dan
bedah buku sampai pemutaran film.
Tahun ini FLS 2019
mengangkat tema Multiliterasi: Mengembangkan Kemandirian dan Menumbuhkan
Inovasi yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada literasi baca tulis tapi juga
mencakup literasi digital, finansial, sains, numerasi serta literasi budaya dan
kewargaan.
Ada banyak sekali booth
dan juga inovasi-inovasi menarik yang dipamerkan selama FLS berlangsung.
Semoga acara tahunan
FLS ini semakin tahun semakin banyak peminat dan bisa menularkan kebiasaan literasi
pada generasi muda. Ya, sebenarnya nggak perlu menunggu pemerintah membuat
acara seperti ini sih, mulai lah dengan menularkan kebiasaan membaca di
keluarga sendiri.
No comments:
Post a Comment