Everything starts with a dream.
Sejak menyukai menulis fiksi di tahun 2010 dan merasakan sebuah kebanggaan saat cerpen yang ala kadarnya masuk dalam sebuah antologi yang diterbitkan secara self publishing. Sejak saat itu, salah satu mimpi besar gue adalah ingin melihat buku dengan nama sendiri terpajang di rak-rak buku di seluruh Indonesia.
Mimpi itu mulai gue rajut di 2012 saat berhasil menyelesaikan sebuah novel dalam kurun sebulan saja. Novel fantasi yang idenya muncul sejak anak pertama baru berumur 2 bulan dan direalisasikan saat anak kedua juga berumur 2 bulan.
Novel itu semula diterbitkan secara self publishing karena gue tak sabar ingin memegang bentuknya secara fisik. Lalu, layaknya keinginan para penulis pemula yang ingin karyanya diterbitkan oleh penerbit besar, gue pun mencoba mengirimkan naskah saya ke mereka.
Novel itu semula diterbitkan secara self publishing karena gue tak sabar ingin memegang bentuknya secara fisik. Lalu, layaknya keinginan para penulis pemula yang ingin karyanya diterbitkan oleh penerbit besar, gue pun mencoba mengirimkan naskah saya ke mereka.
Diterima? Cencyu tidak~
Beberapa surel masuk semuanya berisi penolakan. Sampai suatu hari tak terduga, salah satu penerbit yang terbilang baru membalas surel gue dengan pernyataan kalo mereka menerima naskah gue.
Huwow...
Bahagia? Cencyu saja~
Siapa yang gak senang kalo naskahnya dilirik penerbit besar.
Berbekal arahan dan permintaan penerbit, gue menyelesaikan semuanya.
...yang ujungnya berakhir php.
Sejak menyelesaikan satu novel fantasi, gue makin rajin ikut lomba menulis fiksi. Dari flashfiction, cerpen, dan novela. Gak keitung udah berapa banyak lomba yang gue ikutin. Ada belasan buku antologi berisi nama gue baik yang terbit secara mandiri maupun lewat penerbit besar.
Gue pun mulai menulis lagi novel lainnya. Kembali bergenre fantasi karena genre ini memang kesukaan gue. Naskah yang gue anggap jauh lebih baik dari naskah fantasi yang gue tulis sebelumnya. Saat itu.
Gue pun mulai menulis lagi novel lainnya. Kembali bergenre fantasi karena genre ini memang kesukaan gue. Naskah yang gue anggap jauh lebih baik dari naskah fantasi yang gue tulis sebelumnya. Saat itu.
Naskah kali ini sudah diikutkan dalam lomba menulis novel, sudah diserahkan ke tangan seorang editor penerbit besar, dan sudah diterima oleh salah satu penerbit.
Bagian diterima itu terpaksa gue tolak karena penerbitnya dikabarkan mau tutup. Seminggu setelah mengirimkan email kalo naskah gue diterima penerbitnya beneran tutup. Krai.
Sejak itu menulis novel diselesaikan tanpa harus memikirkan lagi harus dikirim ke penerbit besar. Menjadi bentuk fisik lewat self publishing aja sudah sangat bahagia. Hestek bahagia itu sederhana.
Namun demikian gue tetap rajin ikut lomba menulis fiksi, cerpen maupun novel. Salah satunya melalui Gramedia Writing Project.
GWP batch 1 dimulai di tahun 2013. Gue lolos di seleksi 1 namun gagal masuk ke 20 besar. Demikian pula saat GWP batch kedua, nama gue muncul di 30 besar namun gagal melenggang ke 10 besar.
GWP batch 1 dimulai di tahun 2013. Gue lolos di seleksi 1 namun gagal masuk ke 20 besar. Demikian pula saat GWP batch kedua, nama gue muncul di 30 besar namun gagal melenggang ke 10 besar.
GWP batch 3 atau #GWP3 diadakan kembali menjelang akhir tahun 2016. Tadinya gue udah hampir menyerah dengan kebiasaan mengikuti lomba menulis fiksi. Gue udah mau bodo amat sama mimpi gue yang pengin melihat buku karya sendiri nongol di toko buku se-Nusantara.
Saat itulah gue bisa melihat kalo ada beberapa teman yang selalu percaya kalo gue bisa mewujudkan mimpi gue. Mereka mendorong gue untuk ikut lagi. Ah, nama-nama teman ini dirilis nanti, deh. Biar penasaran, gitu. *ditempeleng*
Saat itulah gue bisa melihat kalo ada beberapa teman yang selalu percaya kalo gue bisa mewujudkan mimpi gue. Mereka mendorong gue untuk ikut lagi. Ah, nama-nama teman ini dirilis nanti, deh. Biar penasaran, gitu. *ditempeleng*
Semesta juga seperti memberi kode kalo gue mesti ikutan di #GWP3. Ceritanya gue ikutan lomba blog yang hadiahnya jalan-jalan ke sebuah kota di Sumatera. Nama gue masuk dalam daftar pemenang, tapi bukan hadiah utama melainkan hadiah hiburan berupa voucher belanja di Gramedia.
Salah satu syarat ikutan #GWP3 itu mesti beli 2 buku terbitan GPU dengan genre teenlit atau YA. Nah, voucher yang gue dapet kayak tanda kalo gue belinya pake itu aja. Bwahahaha...
Setelah memenuhi syarat-syarat yang ada di ketentuan, gue pun mempublish tulisan gue di portal GWP. Cuma 2 bab yang sebenarnya ide ceritanya dari cerita lama yang gue rombak ulang. Abis itu gue udah gak mikirin lagi bagaimana kelaknya.
Setelah memenuhi syarat-syarat yang ada di ketentuan, gue pun mempublish tulisan gue di portal GWP. Cuma 2 bab yang sebenarnya ide ceritanya dari cerita lama yang gue rombak ulang. Abis itu gue udah gak mikirin lagi bagaimana kelaknya.
Seringnya ikut lomba dan seringnya kalah membuat gue terlatih untuk gak menaruh ekspektasi lagi. Ikut ya ikut aja. Kalo menang Puji Tuhan, gak menang ya biasa aja.
Tahunya, nama gue ada di daftar 90 peserta yang naskahnya lolos.
Akkkk...
Terang aja gue kaget karena baru ngetwit gak ngarep eh malah namanya nongol. Mengingat banyaknya penulis muda baru yang sedang bergairah menekuni dunia literasi dan fiksi saat ini. Apalagi teman-teman seperjuangan yang gue kenal di awal main Twitter karena lomba menulis circa 2010-2011 udah jarang yang ikutan lomba-lomba beginian lagi.
Lolos 90 besar bukan berarti jalannya langsung mulus. Semua peserta yang naskahnya lolos harus segera diselesaikan. Pengumuman di bulan Mei, DL-nya di bulan Juni. Duh...
Ya kalo ada yang niat selesaiin naskah sejak awal #GWP3 dibuka banyak waktu yang tersedia. Kalo yang ikutan kek gue cuma posting 2 bab aja dan di laptop naskahnya baru masuk bab 3 ibarat disuruh kerja rodi.
Jadi walau udah lolos di seleksi 1 tapi naskahnya gak selesai artinya gugur. Padahal salah satu keuntungan masuk 90 besar yang naskahnya bisa selesai sebelum DL bisa ikut di #ExpertWritingClass. Deretan nama coach tentu saja bikin mupeng.
Dengan sisa waktu 1 bulan gue malah leyeh-leyeh, streaming drakor, fangirling di Twitter, ngegibah di Grup Anonoh, dsb, dsb. Ya mau diapain dong, gak ada ide sama sekali. :)))
Dengan sisa waktu 1 bulan gue malah leyeh-leyeh, streaming drakor, fangirling di Twitter, ngegibah di Grup Anonoh, dsb, dsb. Ya mau diapain dong, gak ada ide sama sekali. :)))
Jelang seminggu sebelum DL gue akhirnya maksain diri. Harus bisa selesai. Kapan lagi bisa ikutan writing class sama penulis besar yang gratisan. Hooh, niatnya udah bukan buat menang lagi tapi nyari ilmu gratisannya itu. Monmaap, mental gratisan gue emang makin parah sejak jadi emak-emak.
Dua jam sebelum waktu tenggat gue mengirim naskah gue. Bodo amat deh yang penting selesai, itu aja dulu intinya. Padahal udah was-was karena batas minimal halaman gue gak nyampe 150-200 halaman. Hanya 90 halaman doang.
Pasrah, pasrah deh.
Mana admin GWP kadang ngetwit rada nakutin gitu. Jadinya mau gak mau mensyen buat nanya kalo gue termasuk peserta yang naskahnya dianggap selesai apa enggak. Eh, gak dijawab, dong.
Untungnya beberapa hari kemudian akun GWP merilis nama-nama yang bisa ikutan ke #ExpertWritingClass. Dari 90 naskah tersisa 73 naskah, dan yang bisa confirm hadir cuma 61 orang. 20 orang lainnya adalah mereka yang bisa ikut #ExpertWritingClass lewat seleksi cerpen.
Gue langsung lega saat ngeliat nama gue ada di dalam list.
Gue langsung lega saat ngeliat nama gue ada di dalam list.
*) bersambung ke part 2
sebenarnya pengen banget nulis buku seperti mbak, tapi sampai saat ini saya masih belum tau teknis mencari penerbit terus mengetahui apakah penerbit itu cuma php atau memang beneran membantu
ReplyDelete