Sebagai perantau, di
tahun-tahun awal saya datang ke Tangerang, mobilisasi yang paling sering saya
lakukan adalah dengan menggunakan moda transportasi umum. Kala itu belum ramai
ojek dan taksi online. Apa-apa harus
naik angkutan umum. Kepanasan di dalam angkot kecil sumpek karena harus ngetem
berjam-jam sampai berdesak-desakanan padahal sudah tidak ada ruang lagi bagi
penumpang.
Setiap kali saya ingin
bertandang ke ibu kota, akses paling mudah mencapai Jakarta kala itu selain
kereta, opsi lainnya adalah naik bus. Saya harus ke daerah Kebon Nanas terlebih
dahulu lalu, turun di Senen, kemudian melanjutkan ke tempat tujuan dengan
damri. Ribet sekali.
Kenapa saya tidak
memilih naik kereta?
![]() |
source: blog-tiket.com |
Tahukah kalian, ah bagi
warga Jabodetabek, ingatkah kalian bagaimana rupa kereta 9 tahun yang lalu? Mari
saya ingatkan kalau sudah lupa.
Kereta pada 9 tahun
lalu hanya mengandalkan karcis kertas yang selalu menjadi sampah di lantai
kereta. Tidak ada pintu penutup kereta. Jika ada yang mau bertindak impulsif
dan mengakhiri hidup bisa dengan mudahnya loncat keluar kereta. Lantai kereta
seringnya kotor dan bau.
Isi dalam kereta? Rupa-rupa. Mirip rombongan sirkus dalam versi yang berantakan. Ada pengamen dengan instrumen musik beragam, dari krecekan sampai alat tabuh. Ada pengemis yang kadang ngesot sepanjang lantai kereta dari gerbong satu ke gerbong lain. Ada penjual makanan ringan yang juga sering nongol di lampu-lampu merah jalanan yang ramai. Ada penumpang yang pasrah saja naik kereta hanya karena harganya murah meriah. Bahkan jika tidak ingin berbayar, bisa naik ke atas gerbong dengan risiko bisa mati terjatuh atau kesambet kabel listrik. Ada juga kawanan pencopet yang siap melaksanakan aksinya ketika penumpang lainnya lengah.
Isi dalam kereta? Rupa-rupa. Mirip rombongan sirkus dalam versi yang berantakan. Ada pengamen dengan instrumen musik beragam, dari krecekan sampai alat tabuh. Ada pengemis yang kadang ngesot sepanjang lantai kereta dari gerbong satu ke gerbong lain. Ada penjual makanan ringan yang juga sering nongol di lampu-lampu merah jalanan yang ramai. Ada penumpang yang pasrah saja naik kereta hanya karena harganya murah meriah. Bahkan jika tidak ingin berbayar, bisa naik ke atas gerbong dengan risiko bisa mati terjatuh atau kesambet kabel listrik. Ada juga kawanan pencopet yang siap melaksanakan aksinya ketika penumpang lainnya lengah.
Pencopet.
Masih lekat di ingatan
saya peristiwa nahas itu. Kira-kira saat anak pertama saya masih berusia 1 tahun.
Kami hendak ke daerah Cempaka Putih. Biasanya kami naik bus tapi hari itu saya
memaksa suami untuk mencoba naik kereta. Masa kami tinggal dekat stasiun kereta
tapi belum pernah mencoba menggunakan fasilitasnya sekali pun? Jadilah hari itu
kami memutuskan untuk naik kereta saja dan turun di Tanah Abang.
Suami sudah
mengingatkan agar tas yang saya bawa ditaruh di dada. Ponsel yang saya pegang
diusahakan jangan sampai kelihatan penumpang lain. Dia juga melakukan hal yang
sama. Sampai suatu waktu saat kereta baru akan masuk ke Stasiun Kebayoran,
terjadi adegan mirip kisah-kisah dalam sinetron. Seseorang perempuan berteriak,
lalu menangis. Semua perhatian penumpang secara otomatis tertuju padanya.
Samar-samar saya bisa menangkap alasan kenapa dia menangis. Katanya dia
kecopetan, dompet yang dia bawa lenyap. Isinya ada duit bernilai jutaan untuk
membeli obat bagi keluarganya. Penumpang lain hanya bisa mendengar dan
bersimpati. Mau membantu juga tidak tahu siapa pelakunya.
Kami pikir kejadian
seperti ini hanya akan kami lihat di tv dengan narasi dilebih-lebihkan. Dalam
hati kami bersyukur karena itu bukan terjadi pada kami. Sampai kami akhirnya
turun di Tanah Abang dan suami menyadari, ponsel miliknya raib. Dia memang
sedikit terdistraksi saat aksi sang perempuan di kereta yang ada di gerbong
yang sama dengan kami. Menaruh ponsel di saku celana bukan opsi yang baik. Kami
juga tidak bisa berbuat apa-apa, tidak tahu kapan ponselnya hilang, khususnya,
tidak tahu siapa yang mengambil. Padahal posisi suami ada di dekat saya. Tepuk
tangan untuk para pencopet yang begitu lihai. Sungguh, saya kagum sama skill-nya.
Itu pengalaman saya
dulu. Tidak mengenakkan karena menciptakan memori buruk dan penilaian sampah
bagi transportasi di negeri ini. Apalagi kami tinggal di kota besar, ibu kota
pula. Kota yang harusnya jadi acuan pembangunan dan fasilitas yang jauh lebih
baik dari kota lain. Saya bahkan sudah mewanti-wanti ke diri sendiri untuk
tidak lagi memilih kereta sebagai sarana transportasi.
Well,
life changes. Perkembangan semakin maju ke depan. Kurun
5 tahun belakangan terlihat jelas segala perubahan tersebut. Siapa yang bakal
mengira, KRL sekarang jauh berbeda dengan kereta yang dulu? Siapa yang sangka,
sistem pertiketan bisa berubah sehingga membuat pengguna lebih terkoordinasi
dan teratur. Siapa yang tahu kalau naik kereta bisa senyaman sekarang. Tidak
pengap, tidak berbau, tidak diisi dengan pengamen atau peminta-minta atau
penjaja makanan. Bahkan bisa mengurangi angka pencurian di dalam kereta.
Saya yang tadinya sudah
mendoktrin diri agar tidak lagi menggunakan kereta ke mana-mana seketika
langsung berubah pikiran. Sejak terjadi perubahan besar-besaran tersebut dalam
kurun 5 tahun tersebut saya justru menjadi penumpang setia KRL.
Perubahan tiket kertas
ke tiket elektronik dampaknya luar biasa sekali. Tidak ada lagi sampah kertas
di gerbong kereta. Penumpang bisa memilih, mau menggunakan tiket elektronik
Kartu Multi Trip (KMT), Tiket Harian Berjaminan (THB), atau kartu elektronik
keluaran bank.
![]() |
source: realita.co |
Bayangkan, awal mula
KRL Jabodetabek beroperasi itu tahun 1972 semua sistem tiket hanya berupa tiket
kertas yang dibeli harian di loket-loket stasiun. Baru pada tahun 2013
dilakukan pembenahan, beralih ke tiket elektronik. PT KAI menggandeng PT Telkom
untuk menerapkan sistem tiket dan gerbang elektronik (e-gate). Telkom saat itu sebagai penyedia jaringan, mesin gate sampai kartu otomatisnya. Tiket
elektronik ini merupakan bentuk sinergi antar BUMN.
Butuh usaha dan kerja
keras sampai perubahan pelayanan dari sistem KRL ini bisa menjadi seperti
sekarang. Ini menandai terjadinya modernisasi dan perubahan budaya dari para
penggunanya. Apalagi dengan tiap
tahunnya terjadi perubahan dan integrasi dengan moda transportasi lainnya,
diharapkan masyarakat dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Karena perubahan layanan ini, saya jadinya menggantungkan aktivitas mobilisasi saya menggunakan KRL. Untuk saat ini tentu saja sudah jauh lebih nyaman dan aman dibanding beberapa tahun yang lalu. Ke depannya semoga moda transportasi di negeri kita ini menjadi semakin baik dan baik lagi.
*)
web: https://dephub.go.id
twitter: https://twitter.com/kemenhub151
facebook: https://www.facebook.com/kemenhub151
instagram: https://instagram.com/kemenhub151
No comments:
Post a Comment